41. Ceraikan Dia!

717 91 24
                                    

Mata Ayah Roy menyipit. “Kaumau bilang kalau sekarang sudah tobat?”

Roy menelan ludah. “Mencintai bukan dosa. Tidak ada yang perlu dipertobatkan.”

Ayah Roy melempar selimutnya sekuat tenaga, tetapi hanya terjatuh di sisi tempat tidur. Roy memungutnya dan menutupkan kembali ke tubuh ayahnya.

Ayah Roy membuang muka. Pemantau denyut jantung yang sempat berteriak-teriak, perlahan kembali ke frekuensi normal. “Mencintai memang bukan dosa, tapi apa yang kaulakukan karena cinta, itulah yang menjadi dosa,” Ayah Roy berucap lirih, seolah-olah bicara pada diri sendiri.

“Apa yang Papa tahu soal cinta?”

Ayah Roy menatap wajah putranya, seolah-olah pertanyaan barusan adalah sesuatu yang tidak seharusnya untuk ditanyakan. Namun, dia tidak mendapati sekilat pun tanda-tanda retorika. 

Dengan menghela napas dalam, Ayah Roy mengalihkan pandang ke langit-langit. “Sesuatu yang sangat besar,” katanya, disertai senyum pahit.

Ruangan hening. Roy merasa, jawaban ayahnya bukanlah ditujukan kepada dirinya. Pandangan ayahnya menerawang entah ke mana. Perlahan diambilnya kursi, bersiap mendengar kelanjutan kata-kata ayahnya.

Namun, ayahnya tidak ingin bicara banyak. Ditembaknya Roy kembali dengan pertanyaan. “Bagaimana dengan Violette?”

“Baik,” jawab Roy, tanpa mengindahkan konteks pembicaraan.

Ayah Roy menghela napas singkat, lalu berkata, “Dia tahu soal kau dengan banci itu?” 

Darah Roy memanas seketika mendengar ayahnya menggunakan kata ‘banci’ untuk mengganti Jamie. Mencintai sesama lelaki tidak serta merta membuat seseorang menjadi banci dan Roy sepakat tanpa tapi dengan pendapat itu. Namun, dia sendiri sudah tidak ingin membela lelaki itu lagi. Kemarahan dan kebenciannya terlalu besar untuk pasang badan lagi demi dia.

“Dia tahu?” Ayahnya mengulang pertanyaan dengan penekanan.

Roy menjawab dengan gumaman. 

Ayah Roy mendecak pelan. “Jadi, untuk apa dia menikah denganmu?”

“Bukannya Papa yang mau?”

Ayah Roy terdiam. Suaranya seolah mampat di tenggorokan. Setelah beberapa saat, barulah dia dapat bicara lagi. “Dia tetap mau menikah denganmu meski tahu bahwa kau adalah ….” Dia tak sanggup mendefinisikan perilaku keji putranya sendiri.

“Tentu dengan kompensasi yang memadai.”

Mata Ayah Roy menyipit. “Kompensasi?”

Roy menghela napas. “Aku membayarnya sesuai harga yang diminta.”

“Dia yang meminta harga?” 

Roy kembali menghela napas. “Aku mengajukan penawaran, dia menyebutkan harga, aku menyetujuinya. Itu transaksi yang memuaskan.”

Ayah Roy hampir tak bisa berkata-kata. “Kalian mempermainkan ikatan pernikahan.” Dialihkannya pandang, disembunyikannya mata yang mulai memanas.

Roy membeku melihat kilatan air mata yang menggenang di pelupuk mata ayahnya. Dia tahu, ayahnya pasti tidak akan setuju. Namun, dia tidak menyangka, responsnya adalah menangis. 

Setelah beberapa saat, ayahnya menghela napas sambil mengerjap beberapa kali. Kemudian, dia berkata pelan, hampir seperti bicara pada diri sendiri, “Mitsaqan ghalizha, itu adalah ikatan perjanjian pernikahan yang dibuat di hadapan Allah. Ikatan paling kuat yang bisa ada antar manusia.”

Roy menghela napas. Percakapan itu mulai terasa menjengkelkan.

“Ceraikan dia!” sentak ayahnya keras.

Bayi Buat Pak BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang