13. Tujuan

2.6K 274 26
                                    

Hujan baru berhenti ketika cahaya matahari mulai mengusir kelam malam. Roy masih terpejam di pundak Violette dengan tenang. Ayahnya memutuskan untuk pulang lebih dulu, sementara Violette memilih untuk menunggu Roy terbangun. Dipindahkannya kepala Roy dari pundak ke pangkuan. 

Cahaya mentari perlahan menghalau awan hitam, menggantikannya dengan langit biru muda yang memancarkan kehangatan nan lembut. Ada sesuatu yang mengganjal di sudut hati Violette ketika melihat tatapan mata Ayah Roy yang penuh kasih. Tatapan mata seorang ayah. Violette tak tega membohonginya.

Hingga saat mereka berpamitan dan Violette mencium tangan Ayah Roy. Lelaki tua itu tersenyum, mengusap ubun-ubun gadis yang akan menjadi menantunya dalam waktu tak sampai sebulan lagi. Ada keraguan yang berusaha ditepisnya, ada kekhawatiran yang tak dapat dijelaskan. Namun, semua akhirnya hanya bisa dipasrahkan pada Yang Kuasa. Biarlah tangan-Nya yang mengatur arah perjalanan. Bukankah tak ada yang lebih baik dari pengaturan Tuhan?

Cahaya matahari pagi yang menembus kaca jendela mobil terasa hangat di wajah Roy. Berkat kesabaran Violette, dia telah mendapat dua jam tidur berkualitas di pangkuan lembutnya. 

Tak seperti mentari pagi, wajah Violette terlihat muram. Pandangannya kosong ke jendela sementara kedua tangannya bertumpuk di dada.

"Are you okay?" tanya Roy, sedikit membagi perhatiannya antara jalanan dan Violette.

Gadis itu hanya menjawab dengan gumaman.

"Capek?"

Lagi-lagi sebuah gumaman jadi jawaban. 

Roy kehabisan bahan pembicaraan. "Sorry, harusnya tadi kamu bangunkan saja aku."

Tak ada balasan. Violette masih memandang ke luar jendela, entah ke mana.

Suasana menjadi canggung. Roy memutar otak, mencari bahan omongan lagi. "Aku berpikir untuk melakukan inseminasi di Belanda saja. Negara itu termasuk yang ramah terhadap gay, jadi kita bisa sedikit leluasa. Kita bisa berdalih berbulan madu ke sana, jadi tak ada yang tahu. Aku juga bisa mengajak Jamie untuk ikut liburan di sana. Bagaimana menurutmu?"

Violette menghela napas. "Ide bagus."

"Okay, fixed. Aku akan menghubungi WO untuk mengatur segala sesuatunya."

Violette kembali menghela napas. "Hm, Roy ...."

"Ya?"

"Kamu yakin akan melanjutkan ini?"

Roy mengembus napas kesal. "Apa lagi ini?"

"Tadi Papa nanya, apa aku serius ...."

"Papa?" potong Roy dalam tawa kecil, "kau pun sudah memanggilnya Papa sekarang."

Violette makin merapatkan kedua tangannya di dada. "Fokus! Bukan itu pertanyaannya."

Roy menyeringai. "Semalam Papa juga menanyakan hal yang sama." Diembuskannya napas kesal. "Apa maunya orang tua itu? Dia yang memaksa-maksa untuk nikah. Ketika sudah kubawakan calon isteri malah banyak tanya."

"Kamu jawab apa?"

"Aku bilang aku serius. Apa kau memberi jawaban berbeda?"

Violette menggeleng. "Tapi rasanya seperti membohongi orang tua, ya, kan?"

Roy mendengkus keras. "Kenapa kaumalah menanyakan itu sekarang? Bagaimana dengan kakakmu? Kau juga sudah membohonginya."

Violette membuang pandang jauh ke luar jendela. "Aku butuh uangmu. Ke mana lagi mencari 20 M dalam  semalam? Aku harus mengambil kesempatan."

"Ya, sudah! Fokus di situ. Pasang kacamata kuda untuk hal-hal di sekelilingnya. Pasti akan banyak pertanyaan, apalagi kau tidak berasal dari lingkaranku. Bukan tak mungkin, latar belakangmu pun akan jadi bahan gosip nanti. Kalau itu terjadi, kau harus pasang headset anti-suara-miring. Fokus pada tujuanmu. Ini tentang kita berdua, bukan mereka."

Violette mengembuskan udara keras-keras lewat mulut. Tidak disangka, keputusan pragmatisnya ternyata bisa berujung panjang. "Ya, sudah. Aku mau bulan madu ke Prancis. Apa kita bisa melakukan inseminasi di sana aja?"

"Deal! Prancis. Any particular city?"

"Nope. Aku mau melihat Eiffel. Itu yang pertama."

"Okay, tidak masalah, tapi kenapa Prancis?"

Violette menghela napas. Matanya menerawang jauh. "Itu negara impian ibuku."

"Oh, itu sebabnya namamu seperti bahasa Prancis?"

Violette tersenyum tipis. "Aku lahir prematur, kecil sekali katanya dulu. Makanya namaku violet kecil."

Roy mengangguk-angguk. "Violet kecil," gumamnya, "sebenarnya seperti apa bunga violet itu?"

"Penasaran banget, ya? Violet itu bunga semak kecil. Bunganya harum dan cantik. Kalau tidak teliti, dia akan dikira rumput liar."

"Hm, rumput liar. Kauharus menunduk ke bawah agar dapat menikmati harum dan cantiknya." 

Violette tertawa kecil. "Kalo setinggi kamu, mungkin harus jongkok dan menunduk baru bisa menikmati harumnya."

"Yeah, tapi semua bunga sama saja. Tergantung di mana dan bagaimana kita menanamnya. Aku tidak perlu berjongkok untuk menikmati harumnya kalau kutanam dia di pot dan kuletakkan balkon." 

***

Roy menghentikan mobilnya di depan gang sempit yang ditunjuk Violette. "Kautinggal di sini?" tanyanya bingung melihat ke arah gang sempit yang hanya muat dilalui oleh satu orang dewasa.

Violette tertawa kecil. "Yap. Aku turun di sini. Kabari aku kalau butuh apa-apa buat persiapan pernikahan atau inseminasi."

"Kau tidak mengajakku mampir?"

Gerakan Violette membuka pintu mobil terhenti. "Kamu mau mampir?" tanyanya diiringi tawa. "Rumahku kecil, pendek. Kamu bakal kejedot nanti."

Roy tak peduli. Dia menepikan mobil dan ikut masuk bersama Violette.

Roy harus sedikit menunduk ketika masuk karena ukuran kusen pintu rumah sama dengan tinggi tubuhnya. Dia berdiri terpaku ketika berada di dalam ruang kecil yang terasa sesak oleh barang-barang. 

Violette tinggal di sebuah rumah petak yang terdiri dari dua ruang. Ruang pertama difungsikan sebagai ruang serbaguna. Ada rak piring berdiri di samping rak kecil berisi buku-buku. Di salah satu sudut juga ada penanak nasi elektrik, dan di sudut lain tersusun meja lipat pendek bergambar kartun. Ruang kedua difungsikan sebagai kamar tidur. Di sana hanya ada satu kasur dan lemari pakaian usang. 

"Sebentar, Pak, saya sapu dulu, ya. Sudah tiga hari tidak pulang, jadi kotor banget." Violette membawa sapu dan mulai menyapu dengan cekatan.

Roy menahan napas, lebih tepatnya menahan diri agar tidak sembarangan berkomentar. Ketika Violette mengatakan rumahnya kecil, dia mengira itu hanya basa-basi. Ternyata, rumah kecil itu benar-benar ada.

"Sudah selesai, Pak. Silakan duduk," kata Violette setelah meletakkan sapu di dapur.

"Jadi kautinggal di sini?" tanya Roy, mengedarkan pandang ke sekeliling.

Violette tertawa. "Langit dan bumi sama rumahmu, ya?"

Roy manggut-manggut.

"Kata Kakak, ngga apa-apa rumah kita di dunia kecil, yang penting, rumah kita di surga nanti luas."

Roy mendengkus. Dia sudah bosan dengan penghiburan tidak masuk akal yang cocok untuk memupuk kemalasan berusaha. Mereka hanya sibuk berbuat baik lalu berharap punya banyak harta ketika di surga nanti. "Yeah. Seolah-olah kita akan peduli pada ukuran rumah saat di surga," balasnya sinis, "itu pun kalau surga benar-benar ada."

"Memangnya menurut kamu surga itu ngga ada?"

Roy mengedikkan bahu. "Aku sudah punya rumah yang dikelilingi bunga-bunga. Bukankah seperti itu yang namanya surga?" 

Violette diam. Ketika hidup begitu lapang dan mudah, apakah surga dapat menjadi harapan yang menyenangkan?

Bayi Buat Pak BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang