40. Next Attack

603 84 24
                                    

Darah Rijal bergolak. Dihantamkannya cangkir es krim ke mulut Roy. 

Tak sempat menghindar, Roy terjengkang hingga menghantam hamparan rumput. Kepalanya agak pusing. Saat hendak berdiri, tangannya meraba ponsel yang terjatuh dari saku celana. Layarnya berpendar. 

Belum sempat Roy mengambil ponselnya, Rijal langsung menarik leher kausnya dan mendorongnya hingga dinding batas halaman belakang. Kepala Roy yang masih agak pusing bertambah pening begitu membentur dinding. 

“Apa yang kaulakukan pada Olin?” tanya Rijal, masih dengan suara yang sengaja ditahan.

Roy mengernyit, mendengar nama yang terdengar asing. Diliriknya Violette yang tergopoh-gopoh turun dari saung dan berlari menghampirinya. Langkah gadis itu terhenti begitu melihat ponsel yang bergetar di rumput. “Dokter!” serunya, meraih ponsel dan mengacungkannya pada Roy.

Seketika, Roy melupakan sakit di kepalanya. Sekuat tenaga, didorongnya Rijal hingga mundur beberapa langkah.

Dalam hitungan detik, disambarnya ponsel dari tangan Violette. “Halo?” Suara dan ekspresinya menerbitkan kecemasan di muka Violette.

Roy menatap Violette tanpa melepaskan ponsel dari telinga. Diraihnya tangan gadis itu. Secara ajaib, ketegangan di wajah manis itu malah menguatkan Roy untuk tetap berpikir jernih. 

Beberapa saat, Roy mendengarkan ponsel dengan saksama. Jempolnya bergerak-gerak mengusap punggung tangan Violette. Ditatapnya mata bening gadis itu yang diselimuti kecemasan pekat. 

“Okay. Saya ke sana sekarang,” katanya, berusaha setenang mungkin mengakhiri panggilan.

“Kenapa?” tanya Violette setelah Roy menutup telepon.

Roy tak menjawab. Digandengnya tangan Violette dan diajaknya keluar. 

“Maaf, saya baru dapat telepon dari rumah sakit. Ayah saya kolaps,” katanya memberi alasan kepada Ibu Rijal.

“Papa kenapa?” tanya Violette ketika mereka telah keluar dari rumah itu.

“Kena serangan lagi.”

“Jantung?”

Roy menjawab dengan dehaman.

“Trus, sekarang, gimana?”

Roy tak menjawab. Dia terus berjalan nyaris berlari tanpa melepaskan genggaman dari tangan Violette, membuat gadis itu hampir terseret-seret.

“Roy,” Violette memanggil lemah di sela tarikan napasnya yang agak terengah, “sakit.”

Langkah Roy terhenti seketika. Matanya refleks menatap pinggang Violette.

“Kamu jalan duluan aja. Aku nyusul pelan-pelan,” lanjut Violette lagi, “aku tahu jalan, kok.”

“Sorry,” kata Roy. Dihelanya napas dalam-dalam.  Berbagai emosi yang berkecamuk telah mengacaukan prioritasnya. “Papa sudah ditangani dokter terbaik. Secepat apa pun kita tiba, tidak akan mengubah keadaan.”

Violette mengatur napas sambil menahan rasa sakit yang agak menusuk di pinggang. “Kenapa Papa?” tanyanya, “kenapa bisa kena serangan lagi?”

Roy menggeleng. “Tadinya, Papa sudah bisa jalan-jalan sedikit. Tiba-tiba kena serangan di ruang tunggu pasien.”

“Bukannya Papa dirawat di kamar?”

Roy kembali meraih tangan Violette dan mengajaknya berjalan pelan-pelan. “Ya, kata Dokter, Papa jalan-jalan.”

***

Setibanya di rumah, Violette segera merapikan diri dan mengemas barang-barang yang perlu dibawa ke dalam tas tangannya.

Bayi Buat Pak BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang