27. Maaf

3.5K 287 24
                                    

"Apa yang terjadi?" tanya Roy kepada Theo setelah mereka keluar dari parkiran basement

Theo mengembus napas pelan. Diremasnya setir mobil dengan kedua tangan sebelum memulai bicara. "Saya baca chat yang baru masuk ke hape dia, Bos."

"Chat?"

"Yang tadi getar waktu Bos lagi berantem sama dia."

Roy mengingat-ingat sebentar lalu manggut-manggut. "Apa isinya?"

"Done!"

"Done?"

Theo menghela napas lagi, remasannya pada setir semakin kuat. Napasnya kemudian terdengar berat. "Saya telepon Fina ...."

Jantung Roy seolah berhenti berdetak. "Apa katanya?"

Theo tak langsung menjawab. Dia kembali menarik napas dalam dan mengembuskannya dengan keras. "Dia cuma bilang Pigeon, tapi suaranya ...." Lagi-lagi diambilnya napas dalam-dalam dan dikeluarkannya pelan-pelan.

Tangan Roy mengepal geram. Berbagai kemungkinan buruk berlarian melintasi pikirannya.

"Suaranya kaya orang yang hampir kehabisan napas ...." Theo meremas setir sekuat tenaga. Dikedipkannya mata dan digelengkannya kepala agar air yang tergenang dapat terhalau.

Roy memejamkan mata kuat-kuat sementara kepalan tangannya menopang kening dengan geram. Jika Fina hampir kehabisan napas, Roy tak mau membayangkan apa yang terjadi pada orang yang harus dilindunginya. Dalam hati, ia mengumpat keras. Harusnya dia bisa menahan diri, harusnya dia tak perlu langsung menemui Jamie, harusnya ....

Kepalan tangan Roy makin keras hingga ujung-ujung jarinya memutih. Apa yang bisa ia lakukan sekarang? Pikiran Roy buntu. 

"Itu sebabnya kauminta izin menghabisinya?" tanya Roy menahan geram.

Gigi Theo gemeretuk. "Setelah saya pikir ulang, kematian terlalu enak buat dia."

"Lalu? Apa yang kaulakukan?" 

Dari kaca spion, terlihat Theo menyeringai. "Saya tembak pinggangnya."

Roy membalas seringai Theo lalu mengalihkan pandang pada neon warna-warni yang menjadi hiasan pembatas jalan. Cahaya demi cahaya berlari ke belakang, meninggalkannya dalam kegelapan. Tak ada yang abadi, itu yang baru saja dibuktikan Jamie kepadanya. Memercayai berarti siap dikhianati. Mencintai berarti siap dilukai. Tak ada koin yang hanya memiliki satu sisi.

Helaan napas mengiringi Roy yang mengempaskan punggung ke sandaran jok.

***

Sepanjang perjalanan, Roy berusaha menghubungi siapa saja yang mungkin mengetahui kondisi di rumah Puncak. Nomor Fina tak menyahut, nomor Violette tidak aktif, nomor ayahnya tidak ada jawaban. Setelah beberapa kali menelepon, akhirnya ponsel Roy bergetar karena panggilan dari Bi Onah. "Mbak Violette udah di rumah sakit," katanya.

"Bagaimana keadaannya, Bi?"

"Masih belum sadar." Bi Onah juga melaporkan tentang Fina yang mendapatkan dua tembakan di kaki dan ayahnya yang kehilangan banyak darah akibat tembakan di dada. "Kata dokter, kalo ke kanan satu mili aja, jantung Bapak bakal bocor," ceritanya dengan suara bergetar.

Bibir Roy ikut bergetar. Diremasnya ponsel di tangan. "Makasih, Bi," gumamnya lirih sebelum mengakhiri percakapan.

Mereka segera berbalik arah menuju rumah sakit yang disebutkan Bi Onah. Cahaya-cahaya yang berlari menjauh tak lagi dia pedulikan. Mata Roy tajam, menyongsong kegelapan tanpa ragu.

***

Bi Onah tertidur di bangku ruang tunggu ketika Roy tiba di rumah sakit. Mulutnya menganga sementara kepalanya menggantung di sandaran. Tubuh tuanya melorot hingga terlihat hampir-hampir saja meluncur dari bangku. Roy melepas jaket dan menjadikannya bantal untuk membaringkan pengasuhnya itu di bangku panjang. Noda darah, yang mengering, menjadi saksi betapa beliau telah berusaha sangat keras hingga berhasil memaksa tiga buah ambulans datang membawa korban penyerangan. 

Hal pertama yang dilakukan Roy setelah menemui Bi Onah adalah mencari dokter yang bertanggung jawab terhadap Violette. Sebagai dokter jaga, dia juga mengurusi ayahnya dan Fina. "Semua masih dalam observasi, Pak. Khusus untuk Pak Raymond, kasusnya sudah saya sampaikan kepada dokter keluarga Forrester."

Roy manggut-manggut. "Apa ada yang perlu saya khawatirkan?"

Dokter itu menggeleng. "Sejauh ini tidak ada. Hanya butuh waktu pemulihan yang agak lama."

Selesai berbincang dengan dokter, Roy menjenguk ayahnya yang masih dirawat di ICU karena kondisinya masih belum stabil. Tubuh tua itu terlihat begitu lemah ditempeli berbagai kabel untuk memantau detak jantung dan napasnya. Meski begitu, dia tampak sangat tenang dengan mata yang terpejam. 

Melihat ayahnya yang terbaring sendiri di ranjang rumah sakit, Roy tidak tahu apa yang dia harapkan. Dia tahu, ayahnya sudah lama mengidap penyakit jantung yang hanya bisa dikelola tanpa bisa disembuhkan. Mungkin hanya kematian yang bisa mengenyahkan penyakit tersebut.

Namun, melihat ayahnya berada di ambang kematian, Roy pun tak bisa mengatakan bahwa ia mengharapkan kematian untuknya. Hubungannya dengan sang ayah terasa sangat membingungkan. 

Mereka tak banyak bicara, bahkan sejak Roy masih sangat kecil. Meski begitu, ada satu pembicaraan yang selalu Roy ingat. Saat petir membangunkannya dari tidur di malam yang sepi, dia keluar mencari pengasuh tetapi malah menemukan ayahnya sedang menahan isak di depan televisi tanpa penerangan.

Roy masih ingat, dia duduk di samping ayahnya sambil mendekap Mr. Bunny, boneka kelinci putih bertelinga panjang. Televisi menayangkan gambar seorang perempuan menangis tersedu-sedu mengatakan sesuatu dalam bahasa yang tidak ia mengerti. "Kautahu," kata ayahnya setelah mengusap wajah dengan tangan besarnya, "perempuan itu, makin cantik, makin berbahaya. Ingat itu." Kata-kata itu kemudian terpahat kuat di ingatan, seperti prasasti yang tak lekang oleh waktu.

Diseretnya langkah menuju kamar Violette. Gadis itu lebih beruntung, kondisi kesehatan yang prima membuat prognosisnya sangat baik. "Pelurunya sudah diangkat dan  kondisinya sudah stabil. Dia hanya perlu istirahat untuk memulihkan kondisinya," demikian penjelasan dokter yang diterima Roy.

Melihat Violette yang terbaring di tempat tidur, kalimat dari ayahnya seperti hancur dibenturkan dengan fakta keras di hadapan.  Dia cantik, postur tubuhnya sesempurna yang dapat dibayangkan tentang seorang perempuan, tetapi tak ada yang berbahaya darinya. 

Sebaliknya, Roy-lah yang membawakan kematian kepada Violette. Harusnya dia bertahan saja ketika ayahnya memaksakan kehendak. Dia telah melakukannya bertahun-tahun, apa salahnya menambah beberapa tahun lagi? 

Violette tampak tenang, terpejam di atas pembaringan. Hanya selang infus yang melekat di punggung tangan kirinya. Dadanya naik turun teratur pertanda tidurnya yang sangat nyaman.

Direbahkannya kepala di tepi tempat tidur Violette. Seketika, ingatannya melayang pada saat-saat merebahkan kepala di pangkuan gadis itu. Dia tak tahu dari mana asalnya, kenyamanan dan ketenangan yang dirasakan saat itu. 

Roy meraih tangan Violette dan meletakkannya di atas kepala. Kehangatan menjalar dari telapak tangan Violette, merasuk melalui helaian rambut. Mata Roy terasa memanas tiba-tiba. Baginya, Violette tak seharusnya menanggung segala kepedihan itu. "Maaf," ujarnya lirih seraya menahan air mata.

Bayi Buat Pak BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang