39. Es Krim?

727 80 35
                                    

"Huh! Kalau memang iya, buat apa dia masih ngurusin kamu?" tantang Violette, "emangnya kamu sehebat itu sampai harus diperjuangkan segitunya?"

Roy terdiam sejenak. "Apa aku tidak layak diperjuangkan?" tanyanya lemah.

Violette terdiam. Wajah Roy terlihat begitu memelas, seperti anak kecil yang mainannya baru saja direnggut paksa.

Diembusnya napas pelan. Violette sadar, dia telah salah bicara. Ditatapnya lembut mata Roy yang sendu. "Maaf," katanya, maju selangkah sambil mengulurkan tangan ke ubun-ubun Roy, "aku sebel banget, kamu masih aja mikirin dia."

Tangan Violette terasa hangat di puncak kepala Roy. Jari-jarinya menyelusup lembut di antara helaian rambut yang berantakan.

Roy menjatuhkan keningnya ke pundak Violette. Tangannya melingkari pinggang gadis itu, menarik tubuh ramping itu merapat. Perban yang menutupi luka di pinggang Violette masih teraba seluas telapak tangan, membuat jantung Roy terasa seperti diremas keras. "Maaf," bisiknya.

Violette membelai rambut halus Roy. "Lukaku sudah hampir sembuh. Ngga usah khawatir," balasnya, lembut, "waktunya kita membicarakan masa depan. Tinggalkan dia dan luka-luka itu di masa lalu."

Roy mengangkat kepalanya. Diusapnya lembut pipi Violette. "Kalau kamu laki-laki, aku pasti sudah jatuh cinta."

Violette tertawa geli. Ditepisnya tangan Roy pelan dari pipinya. "Kalau kamu jatuh cinta sama aku, berarti selama ini kamu salah memahami dirimu sendiri."

Roy menyeringai. Jelas, dia tahu tentang dirinya sendiri. Cinta pertamanya seorang lelaki, dia tak mungkin salah soal itu.

***

Setelah sarapan, sesuai janji, Roy mengajak Violette mengunjungi tetangga yang berbagi tembok belakang dengan mereka. Meski rumah mereka punggung-punggungan, tetapi dalam perencanaan perumahan, keduanya berada di klaster yang berbeda. Untuk mengunjungi rumah itu, Roy dan Violette harus keluar dari klaster tempat tinggal mereka dan masuk ke klaster tempat rumah itu berdiri. Perjalanan yang cukup memakan energi.

"Capek?" tanya Roy, memandangi pinggang Violette. Matanya melacak dengan khawatir, kalau-kalau ada jejak merah darah yang mungkin terlihat di bajunya.

"Ngapain, sih?" Violette menutupi mata Roy dengan telapak tangannya. "Lukaku udah sembuh," katanya, "kamu liat sendiri, kan, tadi, waktu ganti perbannya?"

Roy tak membalas. Sepanjang yang tampak oleh mata, proses penyembuhannya memang cukup baik. Namun, kesimpulan akhir baru bisa diambil beberapa hari lagi saat jahitannya dilepas.

***

Karena berbeda klaster, mereka harus menggunakan peta untuk memastikan posisi rumah dengan tepat. Setelah tiga kali mengecek ulang, akhirnya, Roy yakin menekan bel sebuah rumah.

Rumah itu sedikit lebih kecil dibanding rumah mereka di klaster sebelah. Namun, dari celah pagar yang terbuka, tampak halamannya yang tertata apik dan asri. Rumput gajah mini seperti karpet menutupi hampir seluruh bagian halaman mungil itu. Bunga-bunga aneka warna bermekaran di antara hijau rerumputan. Violette tersenyum kagum menatapnya.

Seorang lelaki bercelana pendek keluar dengan tergopoh-gopoh. Langkahnya terhenti begitu melihat Violette.

Violette pun ternganga, tak percaya. Lagi-lagi, dia bertemu Rijal.

Roy juga tak kalah terperanjatnya. "Kautinggal di sini?"

Lelaki itu mengalihkan pandangnya dari Violette. "Roy?"

Roy menelan ludah kesal. "Ya. Aku tinggal di belakang."

"Kalian saling kenal?" Violette menatap mereka bergantian.

Bayi Buat Pak BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang