8. DNA

3.6K 304 10
                                    

Dokter menyodorkan satu map berisi hasil pemeriksaan Roy dan Violette. "Silakan dibaca-baca dulu, Pak," katanya, "tidak ada permasalahan kesehatan yang serius pada Bapak dan Ibu berdua. Malah, berdasarkan hasil tes kesuburan, Bapak dan Ibu adalah pasangan yang sangat subur dengan probabilitas memperoleh keturunan lebih dari 90%."

Roy mengangguk-angguk dengan senyum lebar sementara Violette membalik-balik berkas hasil tes. "Dari hasil pemeriksaan DNA ada beberapa penyakit terkait genetik yang perlu diwaspadai, terutama pada sisi Ibu," lanjut dokter itu lagi, "ada penyakit jantung bawaan, juga kemungkinan kanker. Meski probabilitasnya hampir 50%, tapi itu semua hanya potensi, bukan harga mati."

Roy masih manggut-manggut. "Dari kedua sisi, ada kemungkinan penyakit diabetes juga, tetapi ini adalah penyakit yang sangat umum di Indonesia, bahkan di dunia. Masih bisa diantisipasi dengan pola hidup sehat," dokter itu melanjutkan lagi.

Violette mendengarkan sambil terus membaca cepat baris-baris pada berkas laporan.

"Mungkin hanya penyakit jantung bawaan yang perlu diwaspadai karena tidak dapat dicegah dengan pola hidup sehat," lanjut Pak Dokter.

"Ada catatan tentang gen yang terkait kromosom X ini?" tanya Violette menunjuk satu baris di laporan pemeriksaan DNA milik Roy. 

"Oh, itu." Pak Dokter tersenyum memandang Roy. "Hanya sedikit perbedaan kecil yang ditemukan oleh tim di lab. Kemungkinan terkait dengan perilaku seksual, tetapi itu sangat tidak signifikan karena hanya bisa memrediksi 1% dari perilaku seksual. Makanya hanya ditandai sebagai catatan kecil yang bisa diabaikan."

"Maksudnya?" kejar Violette.

Setelah diam beberapa jenak, Pak Dokter melanjutkan lagi, "Kondisi seperti itu biasa ditemukan pada orang-orang yang melakukan praktik seksual sejenis. Namun, Pak Roy jelas-jelas tidak termasuk kelompok itu, bukan? Bapak dan Ibu berencana menikah, tentunya tidak mempraktikkan perilaku seperti itu."  

Roy mengunci bibirnya dan mengangguk. Violette pun manggut-manggut dengan mata menerawang jauh.

"Lagipula, secara ilmiah, sudah dibuktikan tidak ada satu gen pun yang bertanggungjawab terhadap perilaku seksual seseorang," lanjut Pak Dokter lagi, "saya menyebutnya perilaku seksual, bukan orientasi seksual. Menurut saya tidak ada variasi orientasi seksual, tetapi perilaku seksual memang banyak macamnya." 

Roy tersenyum tipis memandang Violette yang sedikit menautkan alis. Keduanya kemudian saling mengangguk lalu berpamitan seraya mengucapkan terima kasih. 

"Jadi?" tanya Roy setelah mereka berada di dalam lift menuju lobby rumah sakit.

Violette menyerahkan map berisi laporan hasil pemeriksaan. "Hasilnya sudah diketahui dan dari sisiku ada beberapa penyakit berat terkait genetik yang perlu diwaspadai," ujarnya sambil tersenyum.

"Probabilitasnya ngga sampai 50%, kupikir, itu tidak masalah."

Violette menghela napas dan tersenyum. "Lima puluh prosen itu setengah, loh. Besar sekali itu."

"Tapi masih ada setengah lagi kemungkinan tidak akan terkena penyakit itu," bantah Roy.

Pintu lift yang terbuka menghentikan pembicaraan mereka. "Kita lanjut ke kantin atau kafe untuk membicarakan ini."

Violette menatap Roy dengan senyum. "Bukankah sudah jelas, riwayat kesehatan keluargaku memang tidak baik. Ayahku meninggal karena kanker paru-paru. Ibuku meninggal karena kecelakaan, tetapi semasa hidupnya memang menderita diabetes. Kakakku sendiri sekarang sedang berjuang mengatasi gagal jantung. Jadi, DNA-ku mungkin tidak begitu bagus jika digabungkan dengan DNA-mu. Sebaiknya kamu mencari perempuan lain yang memiliki DNA yang dapat meningkatkan kualitas DNA-mu. Jadi anakmu nanti bisa hidup lebih baik dari ayahnya."

"Tapi seperti kata dokter ...." Kalimat Roy terpotong karena seorang kakek dengan kursi roda melewati koridor tempat mereka berdiri. Roy menarik lengan Violette untuk menepi ke dekat dinding. "Tidak enak bicara sambil berdiri begini," katanya, "ayo, cari tempat yang lebih nyaman untuk mengobrol."

"Forrest ...."

"Roy," potong Roy cepat, "panggil Roy saja."

Violette mengangguk. "Roy," katanya, "sebenarnya ini mau dilanjutkan atau tidak? Kurasa, kalau dilanjutkan, ini bukan investasi yang menguntungkan dari sisimu."

Roy melipat tangan di dada dan menyandarkan bahunya ke dinding. "Apa yang kau tahu soal investasi?"

Violette menghela napas, ikut-ikutan melipat tangan di dada. Dia baru akan membuka mulut ketika sebuah brankar yang baru keluar dari lift lewat di samping mereka.

"Terlalu berisik bicara di sini," gumam Roy agak kesal. "Kita lanjutkan mengobrol di kafe sekalian berbuka," katanya, membuka layar ponsel dan melakukan pencarian waktu berbuka puasa.

"Roy, apa kamu tetap berniat melanjutkan rencana ini? Kalau tidak ...."

"Jam 17:55," kata Roy membaca waktu yang tertera pada kalender imsakiyah yang ditampilkan layar ponselnya.

"Apa?"

"Waktu berbuka hari ini pukul 17:55. Aku akan reserve tempat di restoran pukul segitu. Kaumau makan di restoran mana?"

Violette tertegun. 

"Kalau kau tidak punya pilihan, biar aku yang pilihkan. Kausuka makanan Prancis, Italia, Jepang ...."

"Sebentar," potong Violette, "apa kamu mau melanjutkan rencana ini?"

Roy mengalihkan pandangannya dari ponsel. "Ya. Apa kau tidak mau?" 

Violette mengedikkan bahu. "Yah, aku cuma menyediakan sel telur dan tubuh untuk tempat berkembangnya janin. Kamu yang akan menanggung semua jenis pembiayaan. Buatku ngga ada masalah, tapi apa kamu tidak perlu memikirkan kemungkinan terburuk mengenai bagaimana kondisi anakmu nanti?"

Roy menghela napas. "Kau dengar sendiri apa kata dokter. Semua hasil pemeriksaan DNA itu hanyalah potensi. Yang namanya potensi, tidak akan mewujud kalau tidak ada lingkungan yang  sesuai buat perwujudannya. Jadi kita tinggal menciptakan lingkungan yang baik, yang sesuai untuk mewujudkan potensi-potensi baik dari kedua gen kita."

"Optimistik sekali," balas Violette lemah.

"Tentu. Aku akan gagal menjadi pengusaha jika tidak optimistik."

Bayi Buat Pak BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang