43. Kakak ...

557 73 21
                                    

"Aargh!" Dingin menghantam rahang Rijal, menariknya kembali dari lamunan.

"Tahan di sini buat memarmu," kata Violette, menempelkan es terbungkus serbet ke rahang Rijal.

Rijal mendesis, tapi tak melawan. Matanya melirik Roy yang memalingkan muka dengan sebal.

"Maaf, ya, Nak Roy. Rijal datang-datang malah bawa masalah," Ibu Rijal berkata dengan nada menyesal.

Roy membuang muka tanpa membalas sepatah kata pun. Violette yang tak enak hati, maju menyelamatkan suasana. "Jangan gitu, Ibu. Namanya pukul-pukulan, pasti ngga bisa sendiri. Roy pasti ada salahnya juga. Maafin Roy juga, ya, Bu."

Rijal melengos sambil mendecih pelan. Ibunya hanya melirik dengan pandangan tak suka.

Percakapan itu tidak membawa mereka ke mana-mana. Suasana yang sudah tidak nyaman tak juga terselamatkan. Pada ujungnya, sate yang siap disajikan pun tidak jadi dinikmati. Ibu Rijal segera pamit tanpa memperpanjang basa-basi lagi.

Demi kesopanan, Violette mengantar mereka berdua hingga pagar, tetapi Roy memutuskan untuk bergeming di tempatnya. Baku hantam dengan Rijal memang sudah usai, tetapi di dalam kepalanya terjadi baku hantam yang tak kunjung terlerai.

Setelah mengantar ibu dan anak itu, Violette kembali masuk rumah tanpa melihat pada Roy sama sekali. Roy mengikutinya dua langkah di belakang. "Aku juga memar," katanya, sedikit merajuk.

Violette terus berjalan, seolah-olah tak mendengar.

"Tidak ada kompres buatku?"

Violette menghela napas pelan.

"Vio ...."

Violette mengembus napas keras dan berbalik. "Ada apa, sih, sama kalian berdua?" tanyanya, melipat tangan di dada.

Roy meneguk ludah.

"Kamu cemburu?"

Mata Roy membuka lebar.

Violette mengembus napas keras. "Aku ngga punya perasaan apa-apa sama dia, okay?" katanya, penuh penekanan, "lagian, dia itu straight, Roy. Udahlah!" katanya, menggelengkan kepala lalu melangkah dengan kesal.

"Aku tahu," seru Roy, menghentikan langkah Violette. Dengan berlari, Roy menaiki tangga hingga matanya sejajar dengan Violette.

Belum sempat, ia bicara, suara ambulans menggema di ruangan. Violette tersentak. "Kakak!" serunya, berlari ke kamar.

Di atas nakas, ponselnya berdering dengan suara sirine ambulans. Buru-buru ditekannya tombol hijau di layar. "Halo?" Suara Violette terdengar gemetar. Ekspresi cemasnya berangsur-angsur berubah menjadi tatapan beku.

Cepat, Roy mengambil ponsel dari tangan Violette. Suara seorang perempuan terdengar di telinganya. "... kesadaran Pak Basskara terus menurun ...."

"Baik, kami segera ke sana," potong Roy cepat sambil menggenggam tangan Violette.

Air mata sudah menggenang di pelupuk mata Violette ketika Roy menyudahi panggilan telepon. "Kakak koma, katanya ...," kata Violette, menahan tangis.

Roy mengernyit. "Katanya tadi, kesadaran Kakak terus menurun. Memangnya bisa seturun apa setelah koma?"

Violette terdiam, bingung.

"Kaupasti salah dengar," kata Roy, mengelus kepala Violette lembut, "ayo, siap-siap. Kita ke rumah sakit sekarang."

Violette menghela napas dan mengangguk. Kecemasan yang membuat kepalanya seperti hampir meledak, perlahan menjadi tenang seperti gelegak air di panci yang api kompornya telah mati.

Bayi Buat Pak BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang