20. Badai Di Kepala

2.1K 236 36
                                    

Sandra datang lagi, melapor pada Jamie dengan senyum lebar di bibir dan binar bahagia di mata. "THR cair!" serunya, melambai pada Jamie, "thanks, Jam. Ide lu bener-bener ampuh."

Wajah Jamie langsung berubah muram. Dia berharap idenya tidak mangkus, meski tahu itu sama saja dengan pepesan kosong.

"Gila, Pak Boss sayang banget sama ceweknya. Jalanan macet, dianter pake helikopter. Pilotnya ngga ada, dia yang pilotin. Hhh, kapan gua dapet cowok kaya gitu," cerocos Sandra dengan mata menerawang jauh.

Mata Jamie menatap kosong jauh ke balik punggung Sandra, telinganya terfiksasi pada suara yang mengatakan, "Pak Boss sayang banget sama ceweknya." Kalimat itu seolah-olah bergema di ruang dengarnya. Tangannya yang memegang sendok berubah menjadi kepalan. Makin erat, makin kuat, hingga urat-urat di pergelangan tangannya terlihat jelas dan ujung-ujung jarinya membiru.

"Jam? Lu bisa bengkokin sendok?" ujar Sandra, takjub, "ngalahin Deddy Corbuzier, lu."

Perhatian Jamie teralih. Sendok di tangannya telah membentuk sudut tiga puluh derajat.

***

Jamie duduk sendiri di apartemennya. Apartemen Roy, tepatnya. Roy tak pernah membelikannya apartemen. Padahal gadis itu, baru bertemu beberapa hari saja, sudah mendapatkan satu apartemen lengkap dengan segala isinya.

Dengan ganas, digigitnya bakwan yang dibeli di pinggir jalan pulang. Dia tahu, Roy tidak suka melihatnya makan gorengan terlalu banyak, apalagi yang dibeli di pinggir jalan. Baginya, itu bukan cara yang bertanggung jawab untuk makan.

Peduli amat! Jamie menggigit bakwan penuh minyak itu sekali lagi. Minyak sisa menggorengnya terbit dari ujung-ujung jari, melewati buku jari, hingga terhenti di gelang rantai titanium yang melingkar di pergelangan tangannya.

Diusapnya lelehan minyak itu dengan telapak tangan kiri. Ditatapnya gelang yang berkilau, memantulkan cahaya lampu. Roy menghadiahkan gelang itu tahun lalu, saat perayaan anniversary pertama hubungan mereka. Tak terasa, dua tahun sudah sejak mereka memutuskan tinggal bersama.

Dua tahun yang menyenangkan, yang sepertinya pupus begitu saja ketika Roy mengenal gadis itu. Jamie melahap seluruh sisa bakwan yang masih di tangan. Mulutnya dipenuhi campuran tepung dan sayuran yang digoreng itu, hingga minyak meleleh di sudut bibirnya.

Gadis kurang ajar itu. Sudut hati Jamie merutuk dirinya yang sudah menyetujui Violette.

Makian meluncur dari mulutnya. Dicomotnya bakwan kedua yang terlihat berkilau di bawah cahaya lampu. Dengan penuh emosi, dimasukkannya sekaligus, seluruh bagian bakwan sebesar telapak tangan itu ke dalam mulut. 

Matanya berkaca-kaca. 

Air mata tak dapat lagi dibendung di pelupuk. Buru-buru dihapusnya air yang lolos meluncur ke pipi. Dia harus melakukan sesuatu. Dia tak akan kalah, apalagi oleh seorang perempuan.

***

Roy pulang malam itu, seperti biasa, tanpa mengeluarkan banyak suara. Saat itu, Jamie sudah pura-pura tidur di atas ranjang mereka. Dia tahu, Roy akan mandi dulu sebelum naik ke tempat tidur. 

Dia menunggu. Rasanya sudah lama sekali mereka tak berbagi waktu bersama. Dia sungguh rindu.

Roy naik ke tempat tidur setelah mengeringkan rambut dan mengenakan piyamanya. Lelaki itu berbaring menghadap langit-langit dengan tatapan seperti sedang menghitung bintang yang tak kasat mata.

Jamie beringsut mendekat, membaringkan kepala di atas lengan Roy yang terlipat dan memeluk dadanya. "Aku kangen," katanya.

"Tidurlah," balas Roy, "ini sudah lewat tengah malam."

"Kamu ngga kangen?" Jamie mulai merajuk.

"Aku lelah," katanya, mengubah posisi hingga mereka berhadapan, "biar kupeluk kau sampai pagi."

Sepertinya rayuan itu cukup ampuh untuk membuat Jamie melupakan pertanyaannya. Roy sendiri tak tahu bagaimana menjawab pertanyaan sederhana itu.

"Kamu lagi happy?" tanya Jamie dalam bisikan.

 "Aku sedang bersamamu. Bagaimana menurutmu?"

Jamie makin menyurukkan kepalanya ke ketiak Roy yang menguarkan aroma sabun lavender. "Kayanya, pas lagi sama aku pun, kamu marah-marah melulu."

Roy membelai lembut rambut lurus Jamie. "Benarkah?"

"Kemaren, pas aku bilangin gini juga, kamu malah narik selimut terus membelakangi aku."

"Masa?"

"Kamu lagi ada masalah kemaren-kemaren?" bisik Jamie lagi.

Roy menghela napas, memeluk Jamie makin erat. "Tidak. Tidak ada."

"Bener?"

Roy menghela napas lagi. "Aku tak tahu."

Jamie mendongak, mencari mata Roy yang masih terbuka. "Kok, ngga tahu?" 

Roy mengusap lembut pipi Jamie dengan ujung telunjuknya. "Perasaanku kacau belakangan ini. Dan sepertinya itu berpengaruh pada perilakuku, padamu, juga pada orang-orang di kantor. Tapi aku benar-benar tidak sadar. Maafkan aku."

"Kenapa bisa kacau? Kenapa kamu ngga cerita? Kamu bisa cerita apa aja sama aku, kan?"

Roy menangkupkan tangan kanannya di pipi Jamie. Ditatapnya mata bulat itu, yang terlihat muram di bawah cahaya lampu temaram. "Aku tak mengerti. Karenanya tak bisa menceritakannya."

"Apa yang kamu ngga ngerti?"

Roy mengembus napas pelan sekali. "Perasaan itu seperti badai yang berputar-putar, mengacaukan seisi otak dan membuatku benar-benar kebingungan."

Jamie mengelus pipi Roy dengan ujung jemarinya. "Mungkin kamu perlu mengeluarkannya. Kita udah lama banget ngga mengeluarkannya, kan? Kamu selalu bisa mengeluarkannya di dalamku, kenapa sekarang tidak?"

Roy mengembuskan desahan kecil seraya melepaskan pelukannya dan kembali berbaring menghadap langit-langit. "Aku tak tahu."

Jamie mengangkat kepala, lurus-lurus menghadap Roy. "Jangan dipendam, Darling."

Roy membalas tatapan Jamie. Badai itu sudah tenang, tetapi bukan karena Jamie. 

Dia tahu, semua kekacauan itu hilang begitu Violette datang. Tetapi, dia tak habis pikir, kenapa harus Violette?

Jamie menyatukan bibirnya dengan bibir Roy, tetapi tak ada balasan. "Kenapa?" tanyanya.

"Aku lelah, Jamie. Maaf." Badai itu kembali menggeram di kepala Roy.  

Bayi Buat Pak BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang