Dengan malas, Roy bangkit dari tempat tidur. Violette telah menunggunya dengan senyuman di meja makan, sementara ayahnya menatap dengan kening berkerut dan alis bertaut.
Lelaki tua itu mengikuti gerakan putra semata wayangnya dengan saksama. Matanya tak putus memperhatikan Roy yang menghempaskan tubuh ke kursi kemudian dengan setengah hati mengucek mata dan membalik piring makannya.
Hatinya merasa ada yang salah pada hubungan dua orang yang duduk di kanan dan kirinya. Mereka tidak tampak seperti sepasang kekasih. Meski dia dapat melihat bahwa Violette adalah gadis yang baik, tetapi mata tuanya tak dapat melihat ada gelora cinta di antara mereka.
Sejak memutuskan untuk mundur dari dunia bisnis dan memilih tinggal jauh dari hiruk pikuk dunia, ia insaf bahwa tujuan besar kehidupan bukan pada kenikmatan hidup dunia. Bertahun-tahun, dia mengajak putra semata wayangnya agar juga ikut memahami rahasia besar kehidupan, tetapi selalu mental. Kata-katanya hanya masuk kuping kanan lalu keluar melalui kuping kiri.
Beberapa waktu belakangan, ia mengubah taktik. Alih-alih mengajak mengikuti kajian-kajian keagamaan, ia menyuruh anak itu menikah. Pernikahan pasti akan membuatnya lebih banyak berpikir tentang diri sendiri, tentang kehidupan, juga tentang masa depan yang tak akan mungkin dapat digenggam. Berbagai argumen ia lontarkan, tetapi Roy selalu dapat mematahkannya. Hingga akhirnya, ia menggunakan cara kekerasan dengan memberi ultimatum terakhir.
Mulanya ia mengira, Roy akan terus menolak dan menghindar. Karenanya, ia sudah melirik beberapa orang gadis yang siap menikah, yang tidak boleh ditolak.
Kawin paksa? Sebut saja begitu. Otak tuanya merasa perlu mencari jalan pintas agar anak manja itu mau berpikir tentang hal yang lebih besar dari dunia. Dia yakin, pernikahan adalah cara yang tepat untuk membuat orang berpikir tentang hal-hal yang tak dapat dijangkau nalar.
Namun, tiba-tiba, anak lelakinya itu membawa pulang seorang gadis cantik, baik, perhatian, juga tampak sangat keibuan. Apakah ia bermimpi? Bagaimana mungkin seorang lelaki yang mati-matian menolak pernikahan, dalam waktu sepekan, tiba-tiba sudah siap menikah setelah lebaran. Sungguh tidak masuk akal.
***
Setelah sahur, mereka berjalan bersama menuju musholla tak jauh dari kebun mawar milik Ayah Roy. Angin kencang meniupkan aroma manis mawar ke sekeliling mereka. Violette menarik napas dalam-dalam, menikmati lembutnya wangi mawar dalam embusan angin malam. "Hmm, bintang-bintangnya hilang," katanya, menatap langit yang membentang tanpa batas.
Roy berhenti, menatap langit, lalu bergumam, "Awannya terlalu tebal, anginnya terlalu kencang, sebentar lagi akan turun hujan."
"Ah, jangan cari alasan! Aku tahu, kau hanya tak mau salat di masjid," potong Ayah Roy.
Roy tak membalas, hanya memandang malas pada lelaki tua di hadapannya. Violette tersenyum dan berbisik, "Aku percaya padamu, Pak Pilot." Kemudian ia mempercepat langkah hingga sejajar dengan Ayah Roy.
Lagi-lagi, Roy berjalan di belakang dua orang beda usia itu, seperti pengawal setia dari raja dan ratu.
***
Nalar Roy ternyata masih tajam, prediksinya tepat. Saat imam mengucap salam, hujan seolah-olah dicurahkan dari langit. Mereka memutuskan untuk duduk di teras musholla, menunggu hujan reda.
"Kubilang apa," gumamnya melirik lelaki tua yang duduk di sebelah Violette. Namun, suaranya pupus ditelan hujan yang makin deras.
Violette duduk memeluk lutut di antara dua Forrester. Dia memikirkan kakaknya yang sendirian di Jakarta. Dia hanya pamit untuk menemui Ayah Roy, tidak pamit untuk menginap. Semoga kakaknya tidak kesepian.
Disandarkannya punggung ke dinding. Hujan deras di depan mata membentuk tirai tebal yang mengaburkan pandangan. Saat angin bertiup, butir-butir air bertempias di mukanya.
Tiba-tiba kepala Roy jatuh di pundaknya. Mata lelaki itu tertutup, tetapi dua belah bibirnya tampak sedikit membuka. Violette menghela napas dan menyandarkan kepala ke dinding.
Ayah Roy menatapnya penuh perhatian. "Kau serius dengannya?" tanyanya nyaris seperti bisikan ditelan suara hujan yang berkejaran.
Violette merasa itu adalah pertanyaan serius, maka ia menegakkan kepala, berusaha menunjukkan keseriusan pula. Ditatapnya mata teduh lelaki yang seluruh rambutnya sudah memutih itu. Dia ingin berucap iya, tetapi tak ada kata yang sanggup diutarakannya. Dia ingin mengangguk, tetapi lehernya terasa kaku.
Ayah Roy mengembus napas perlahan. Makin lama, makin ia meyakini bahwa perkiraannya tidak salah. "Pernikahan bukan perkara main-main. Kalau kau tidak yakin, tak usah paksakan dirimu."
Violette menelan ludah. Dia mungkin tak yakin soal pernikahan, tetapi seratus persen yakin soal transaksinya dengan Roy. "Saya yakin, Om."
Ayah Roy menatap matanya, begitu dalam, hingga Violette terpaksa mengalihkan pandang ke hujan yang membentuk tirai tebal di hadapan mereka. Lelaki tua itu kembali mengembus napas perlahan. Ikut menatap hujan yang tak dapat ditahan. "Kalau kau memang serius, mengapa masih memanggilku Om?"
Violette menoleh, mencari mata teduh lelaki tua di sisinya itu. "Ehm, saya panggil Bapak?"
Ayah Roy tersenyum. "Roy memanggil saya Papa."
Violette kembali menelan ludah. "Papa?"
Senyuman Ayah Roy semakin lebar. Violette berpikir, jika ayahnya masih hidup, mungkin seperti itulah senyumannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bayi Buat Pak Boss
RomanceWarning 21+ Roy Forrester, pimpinan Forrest Group terpaksa mengikuti perintah ayahnya untuk menikah. "Perusahaan kita adalah perusahaan keluarga. Kalau kau tidak punya keturunan, siapa yang akan mewarisi hasil kerja keras kita ini nanti?" ucap ayahn...