38. Rijal

760 97 20
                                    

Roy terdiam melihat keseriusan Violette. “Kalau demi aku, apa kau juga akan pasang badan?”

Violette tertegun. Setelah berpikir sejenak, dia menjawab, “Roy, aku ngga setuju dengan pilihanmu.”

Roy menyipitkan mata. 

“Tapi bagaimana kamu menjalani hidupmu, bukan urusanku.”

Roy diam, menunggu kelanjutan kata-kata Violette.

“Cuma, kalau kamu mau mencemari seorang yang straight, aku akan menghalangimu.”

“Mencemari?”

Violette mengangguk. “Apa yang kamu lakukan itu merusak tatanan kehidupan.”

Mulut Roy sudah terbuka untuk membantah, tetapi terhenti karena acungan jari Violette.

“Aku tahu, kamu punya banyak argumen untuk membantah,” kata Violette, makin kuat mengacungkan jarinya di depan hidung Roy, “bakal jadi blunder kalau kita berdebat di sini ….”

Tanpa peringatan, Roy mencaplok telunjuk yang teracung di depannya.

Violette terkejut dan berusaha menarik jarinya, tetapi Roy lebih sigap. Dicengkeramnya pergelangan tangan Violette. Sementara, di dalam mulut, telunjuk Violette bergulat dengan lidah Roy.

“Roy!” teriak Violette dengan mata mendelik.

Roy membuka mulutnya hingga Violette bisa menarik tangannya segera. “Kangen makan es krim,” kata Roy dengan seringai.

“Jorok!” Violette berseru jijik sambil melompat lari ke kamar mandi.

Untuk beberapa saat, Roy hanya duduk di tepi tempat tidur. Suara keran air terdengar deras meningkahi seruan jijik Violette. “Roy jorok!”

Roy menyeringai, lalu mematikan lampu dan membaringkan badan di tempat tidur. Dia tahu, kakak Violette adalah seorang yang sangat religius. Tidak mengherankan sebenarnya, jika Violette pun tak kalah religiusnya. Namun, dia tak pernah menyangka Violette setegas itu dalam bersikap.

Dia mengira, Violette cukup toleran untuk menerimanya. Gadis itu bahkan membantunya untuk mencari lelaki baru dengan menyamarkan penampilannya menggunakan peralatan make up.

Roy menutupkan bantal ke mukanya. Bayangan Violette yang bermain ayunan sambil tertawa-tawa dengan lelaki itu kembali berkelebat di benaknya. Dia terlihat sangat gembira. Dan lelaki itu, terlihat familiar.

“Roy!” Teriakan Violette membuatnya melempar bantal seketika. Dengan sigap, diraihnya pistol yang tergeletak di nakas. Dalam satu gerakan, dia melompat dan berlari ke arah sumber suara.

“Kenapa?” tanyanya, begitu berhasil meraih pundak Violette yang gemetar.

“Gelap banget ….” Suara Violette bergetar.

Roy menghela napas lega dan merangkul Violette. “It’s okay,” bisiknya di ubun-ubun gadis itu, “aku di sini.”

***

Violette terbangun ketika azan subuh berkumandang. Dengan bantuan penerangan dari senter ponsel, dia menyalakan lampu dan berwudu. 

Mulanya, dia hendak salat di rumah saja, seperti yang diinginkan Roy. Namun, kemudian merasa butuh untuk keluar dari penjara bernama rumah. Lagipula, mukena pinjaman dari masjid belum dikembalikan.

Dia memutuskan meninggalkan Roy yang masih tertidur pulas. Pos satpam di gerbang klaster terlihat kosong, tetapi Violette tidak ambil pusing. Dia berbelok ke arah masjid dengan langkah ringan.

Tidak banyak orang di masjid. Di bagian perempuan hanya seorang perempuan lima puluhan yang tersenyum menyapanya. Violette merasa tenang. Dia percaya, Roy hanya terlalu berlebihan soal perlindungan keselamatan.

Bayi Buat Pak BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang