36. Lelaki Di Taman Bermain

697 88 8
                                    

Langkah Violette terhenti. Derit besi bergesekan pun perlahan menghilang. 

Angin memainkan rambutnya yang tidak terikat. Rok kuning gadingnya pun ikut berkibar tak beraturan. 

Setelah menelan ludah sekali, dia bertanya dengan nyaris berbisik, “Mas Theo, liat cowok yang di situ?”

Theo mengalihkan pandang ke arah mangkuk putar yang ditunjuk Violette. “Iya, Bu,” jawabnya lugas, “apa dia mengganggu?”

“Oh, ngga.” Violette mengangguk sopan kepada lelaki itu, lalu berbelok dan berlalu. “Kirain hantu,” katanya lega.

Theo tidak menjawab. Ditatapnya lelaki itu sekali lagi. Lelaki itu membalas tatapannya sekilas lalu kembali memutar mangkuk putar hingga deritnya kembali menggaung, memekakkan telinga.

Violette menoleh, tersenyum melihat seorang lelaki dewasa asyik memainkan wahana yang didesain untuk anak kecil. Dia meraih rantai ayunan dan duduk di dudukannya. Matanya menikmati atraksi mangkuk putar yang disuguhkan lelaki itu. Berputar kencang, berhenti tiba-tiba, lalu berputar lagi ke arah sebaliknya. Mangkuk putar itu seperti berdansa mengikuti arahannya.

Setelah beberapa putaran, lelaki itu berhenti tepat di sisi yang menghadap Violette. Dia menangkap senyum Violette dan membalasnya.

Violette mengalihkan pandang tanpa melepaskan senyum. Dia tahu, lelaki itu pasti akan turun dan menghampirinya. Namun, Violette sama sekali tidak menduga bahwa dia tidak menyapa, melainkan langsung duduk di ayunan sebelahnya. 

Dengan sekali lirikan, Violette bisa melihat tangan lelaki itu gemetar, tetapi dengan cepat berhasil disembunyikan dengan menggenggam erat rantai ayunan. Setitik rasa kasihan terbit di hatinya. Dihelanya napas dan diayunkannya badan pelan-pelan, khawatir rok sebetisnya terangkat terlalu tinggi.

“Kayanya mau hujan, ya?” Lelaki itu tiba-tiba bicara tanpa menatapnya.

Violette menoleh dan tersenyum. “Sepertinya begitu,” katanya dengan nada penuh pengertian.

Lelaki itu menoleh, lalu tertawa kecil seperti sedang menertawakan diri sendiri. “Ya,” katanya.

Violette membalas tawanya agar lelaki itu tidak merasa tertolak.

“Apa kita pernah ketemu?” tanyanya lagi, terdengar cukup percaya diri.

Violette menoleh dan pura-pura berpikir. Dia sudah hafal dengan kalimat sok akrab seperti itu. “Ngga.”

“Perasaan kaya kenal,” katanya, kukuh.

“Ah, itu hanya perasaan Anda saja.”

Dia tertawa. “Saya Rijal.” Lelaki itu mengulurkan tangan. Jarinya sudah tidak lagi gemetar.

Violette tersenyum. Setetes rasa kasihan yang tadi tepercik, kini sudah mengering. “Saya sudah menikah,” jawab Violette.

Lelaki itu mengangkat alis, lalu tertawa kecil. “Nama yang indah.”

Mata Violette menyipit. 

“Jadi, panggilannya Sudah? Menikah? Meni? Nikah? Atau cukup Nik aja?”

Violette tertawa lepas. “Nik, kayanya bagus juga,” balasnya setelah berhasil meredakan tawa.

“Ok. Boleh saya panggil Nik aja? Apa perlu pakai Bu? Jadi Bu Nik?”

“Nik. Panggil saya Nik aja.”

Dia manggut-manggut. 

“Kalau Mas Rijal …?”

“Ah, pakai Mas, terdengar manis.”

Bayi Buat Pak BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang