9. Berkenalan

3.2K 301 34
                                    

Tatapan Roy terlihat sangat yakin, membuat Violette tak merespons selain sebuah anggukan. "Okay, deal?" Roy mengajukan tangan untuk bersalaman. Violette menyambutnya disertai anggukan dan senyuman.

"Apa sekarang aku sudah bisa ketemu dengan kakakmu?" pinta Roy tanpa melepaskan genggaman tangannya.

"Okay," jawab Violette, berusaha melepaskan tangannya.

"Bagus, ayo!" ajak Roy, langsung melangkah maju.

"Eh, Roy." Violette menarik tangannya. "Sampai kapan kamu mau pegang tanganku?"

Roy terperanjat, baru sadar kalau masih menggenggam tangan Violette. "Ehem, selamanya, boleh?" balasnya berusaha menutupi pipi yang menghangat tiba-tiba.

Violette tertawa geli menanggapi lelucon aneh dari milyarder di hadapannya. "Aku asetmu, tolong rawat baik-baik, ya," balasnya, menarik tangan dari genggaman Roy.

***

Mata Basskara berbinar melihat lelaki necis yang dibawa Violette siang itu. Wajahnya bersih, tatapan matanya tajam, sikapnya sopan, dan yang terpenting, dia terlihat sangat menyayangi sang adik. Bagi Basskara tak ada yang lebih baik dari itu.

"Jadi kapan kalian berencana menikah?" tanya Basskara tak sabar. Dia tak yakin dapat bertahan hingga tahun depan. Napasnya terasa makin sulit dan jantungnya pun seolah-olah sudah terlalu lelah berdetak.

"Secepatnya," sahut Roy cepat, mengagetkan Violette, "kalau Kakak setuju, saya akan mengatur pernikahan segera. Pekan depan pun tidak masalah."

Basskara tertawa hingga napasnya terdengar mengikik. "Pekan depan masih Ramadhan. Mungkin setelah lebaran waktu paling cepat. Semoga aku masih hidup saat itu."

"Kakak ...." potong Violette lirih.

Basskara meraih tangan adiknya. "Sudah ada orang yang akan menjagamu, aku bisa pergi dengan tenang."

Mata Violette menghangat. Andai kakaknya tahu pernikahan ini hanyalah transaksi untuk bertahan hidup, dia tak akan bicara begitu. "Kakak jangan bilang begitu. Dokter akan mengusahakan jantung lain untuk Kakak," ucapnya lirih. 

Jantung yang pernah ditawarkan untuk Basskara ternyata telah dikirim ke orang lain yang lebih dulu melengkapi persyaratannya. Meski kesal, tetapi Violette tak bisa berkata apa-apa. Namun, ia berpesan pada dokter yang merawat Basskara agar segera mengabari jika ada jantung yang tersedia lagi. Dia sadar, masalahnya ada pada uang, dia harus mengirimkan uang jaminan agar permintaannya mendapat prioritas untuk diproses.

***

Roy gembira sekali hari itu. Sinar matahari yang terik tidak lagi dimusuhinya. Ia malah mengenakan kacamata hitam dan menatap langit, menyapa benda bundar yang tak dapat terlihat itu dengan senyuman.

"Kakakmu baik sekali," katanya ketika mereka sedang menyusuri jalan tol menuju Bogor.

"Ya, semoga ayahmu juga sebaik itu," jawab Violette, memaksakan senyum. Mereka sedang dalam perjalanan ke Puncak, menuju rumah peristirahat tempat Ayah Roy tinggal. 

Sejak menyerahkan urusan perusahaan pada putra semata wayangnya, Ayah Roy memilih tinggal di pondok kecil mereka di Puncak. Pondok kecil itu berada di tengah-tengah kebun mawar yang menguarkan keharuman nan manis setiap hari. 

Tempat yang sangat menyenangkan untuk menyegarkan pandangan yang suntuk di kota sebesar Jakarta. Namun, setahun belakangan, Roy mulai malas berkunjung ke sana. Tiap kali datang, dia selalu mendapat pertanyaan yang sama, "Sendirian?"

Pria tua itu selalu menggunakan umur yang telah merangkak di angka kepala tiga sebagai alasan. "Apa kau mau menunggu sampai rambutmu jadi putih semua baru menikah?" begitu kata ayahnya.

Bayi Buat Pak BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang