34. Kebahagiaan

1.9K 170 34
                                    

Violette segera kembali ke kamar begitu selesai memasukkan semua barang pilihannya ke keranjang toko online. Namun, begitu membuka pintu, dia terkejut melihat Roy terbaring dengan wajah tertutup bantal. "Roy!" serunya spontan antara takut dan khawatir.

Refleks, Roy melempar bantal dari mukanya dan menarik pistol dari sarangnya. Tanpa berpikir, dia melompat ke depan Violette dan langsung mengambil sikap protektif sambil menyapu pandang ke sekeliling.

"Kamu barusan tidur?" tanya Violette tak percaya.

"Tidak," Roy menjawab pelan, masih dalam sikap waspada, "apa yang terjadi?" 

"Aku kira kamu mati," balas Violette, hampir seperti gumaman karena menahan malu.

Roy mengabaikan salah paham yang terjadi dan memasang kembali pengaman pistol. "Aku hanya sedang berpikir," jawabnya datar, "tak usah khawatir."

"Kamu mikir sambil nutupin muka pakai bantal?"

"Apa itu salah?"

Violette menggeleng, tak ingin memperpanjang urusan. "Aku udah masukin ke keranjang," katanya, menyodorkan ponsel kepada Roy, lalu pergi meninggalkan kamar.

Di luar, Violette kembali berhadapan dengan ruang kosong. Disandarkannya tubuh ke kusen jendela. Awan-awan putih terlihat seperti kapas terserak di angkasa. Angin lembut masuk melalui jendela yang sedikit terbuka, membawa kehangatan matahari yang merangkak semakin tinggi.

"Kau masih marah?" Suara lembut Roy mengalihkan pandangan Violette dari langit biru.

"Tidak," Violette menjawab tenang.

Roy berdiri di samping Violette, ikut menatap awan putih yang berarak. "Lalu, kenapa tadi langsung keluar?"

"Tugasku sudah selesai."

"Tugasmu?"

"Kamu nyuruh aku milih furniture untuk rumah, aku sudah menyelesaikannya."

Roy menatap Violette yang tatapannya jauh melewati awan. "Kau kelihatan beda hari ini."

"Tidak. Sama aja."

Roy masih menatap mata Violette yang memandang jauh, entah ke mana. "Tadi pagi, kamu tidak dingin seperti ini."

Violette tersenyum tipis. "Tadi pagi …."

Roy menunggu Violette menyelesaikan kalimatnya. "Kenapa tadi pagi?"

Violette mendeham kecil. "Mungkin aku terlalu terbawa perasaan, jadinya, kurang profesional. Sorry."

Roy mengernyit. "Aku sudah bilang, abaikan saja soal perjanjian itu."

Violette menoleh, menatap langsung ke mata Roy. "Kamu plin-plan. Katanya lupakan soal perjanjian, kita bisa cerai begitu semua sudah aman. Tapi semalam, kamu malah membahas soal kewajiban suami-istri. Jadi mana yang benar?"

Roy mengalihkan pandang ke langit biru yang ditingkahi awan-awan putih tipis. "Aku merasa lebih tenang kalau kaujadi istriku."

Kening Violette mengerut.

"Sebagai istri Forrester, hargamu pasti akan jadi lebih mahal. Dan dengan situasi seperti sekarang, aku yakin, pengkhianat itu tidak akan sanggup membayar," papar Roy, sedikit geram.

"Itu sebabnya, aku langsung mengumumkan pernikahan kita secara implisit di medsos," lanjut Roy lagi, "orang-orang pasti akan penasaran dan menunggu rilis resminya."

Violette mengatupkan dua bibirnya yang sedikit ternganga mendengar penjelasan Roy.

"Hari ini, harusnya, kita post foto mesra berdua, tapi, sepertinya, kau belum siap," katanya lagi, menatap Violette.

Violette tertunduk. 

"Dan, cukup dengan mengatakan bahwa kau adalah istri Forrester, orang-orang akan memberimu pelayanan VIP," jelas Roy lagi, "tidak seperti waktu itu, ketika Bi Onah harus mati-matian meyakinkan pihak rumah sakit agar menolongmu karena, bagi mereka, kau bukan siapa-siapa."

Violette mengangguk dan menghela napas. "Aku mengerti," jawabnya pelan.

“Aku tidak peduli lagi soal perjanjian itu. Satu-satunya perjanjian hitam di atas putih antara kita berdua sekarang hanyalah yang tertulis di buku nikah.”

Violette mendongak, kembali menatap Roy yang tegak menantang langit. “Tapi, ini bukan pernikahan sungguhan.”

Roy menoleh, membalas tatapan Violette. “Aku tidak keberatan jika ini jadi pernikahan sungguhan. Seperti yang kaubilang semalam, kau tidak keberatan kalau aku jadi suami sungguhan, bukan?”

Violette diam.

“Aku yakin bisa memenuhi semua kebutuhanmu,” lanjut Roy lagi, “kecuali yang satu itu.”

Violette tak membalas. Dialihkannya pandang ke langit lepas, tempat awan-awan putih melayang tertiup angin.

“Bagaimana menurutmu?”

Dada Violette sedikit terangkat karena helaan napas. Ditatapnya mata Roy yang terlihat sungguh-sungguh. “Aku hanya butuh uangmu,” balasnya pelan.

“Kau boleh ambil uangku.”

“Semua?”

Roy tertawa meledek sambil mendekatkan wajahnya ke muka Violette. “Yakin, itu yang kaumau?”

Violette menyipitkan matanya. “Apa itu yang dimau Jamie?”

Sontak, Roy menarik wajahnya. “Jangan sebut lagi namanya di mukaku.”

Seringai terlukis di bibir Violette.

“Kau sengaja,” balas Roy pura-pura kesal.

Violette tertawa.

“Akhirnya ada juga ekspresi di wajahmu,” ledek Roy lagi.

Seketika, tawa Violette berganti dengan rungutan.

“Begitu lebih baik, daripada diam.”

Violette kembali mengalihkan pandang ke langit biru.

“Jadi, bagaimana menurutmu?” Roy mengembalikan mereka ke topik sesungguhnya.

Violette menghela napas dan menoleh kepada Roy. “Aku tidak pernah memikirkannya,” jawabnya tenang, “aku setuju nikah sama kamu demi mendapatkan uang untuk biaya pengobatan kakakku, sekalian membahagiakannya di tengah penderitaan. Dan, ternyata juga bisa membahagiakan ayahmu. Sepertinya, banyak orang yang bahagia kalau aku menikah denganmu.”

“Bagaimana dengan dirimu sendiri?”

Violette mengedikkan bahu. “Aku tidak memikirkannya.”

Bayi Buat Pak BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang