Suara adzan membangunkan tiga orang yang terpejam di kamar itu. Basskara duduk dengan susah payah dibantu oleh Roy sementara Violette menyiapkan kurma di meja makan pasien. "Tadinya mau beli es doger yang di depan rumah sakit itu, tapi ngga sempet," kata Violette memulai pembicaraan dengan ceria.
Roy menghentikan kunyahannya dan melirik Violette. Dalam hati, ia menggerutu, kenapa tidak bilang?
"Oya, Kak. Boleh, tidak, aku ajak Violette ke Puncak besok? Buat lebaran bareng Papa di sana?"
Serta-merta Violette tersedak mendengar permintaan Roy. Buru-buru Roy mengusap punggungnya dan menyodorkan segelas air mineral.
Belum sempat Violette menjawab, kakaknya lebih dulu merespons. "Sudah hampir lebaran, ya?" ujarnya dengan mata menerawang jauh menembus dinding.
"Besok puasa terakhir," balas Roy.
"Tidak boleh juga tidak apa-apa, kok, Kak," Violette cepat-cepat memotong, "kita lebaran bareng saja di sini."
Basskara menghela napas dengan susah payah. Kian hari, napasnya kian terasa berat. Ia benar-benar merasa bahwa udara bukanlah miliknya. Bumi yang dipenuhi oksigen ini, tidak ada gunanya ketika Allah tidak mengijinkan manusia menghirupnya. Betapa, kemampuan bernapas pun sebenarnya adalah bukti kasih sayang Allah.
"Bulan Ramadhan hampir berakhir," kata Basskara dengan napas terengah. Disendoknya perlahan, kurma yang sudah dihancurkan Violette di mangkuk. Karena kesulitan bernapas, maka ia tak dapat mengunyah makanan terlalu lama. Apa pun yang masuk lewat mulut harus segera dapat ditelan agar ia dapat bernapas lagi.
"Ya, kalau boleh ...." Kalimat Roy terputus tiba-tiba karena cubitan Violette di pahanya yang disertai kerlingan mengancam.
"Ya, boleh," balas Basskara.
Roy tersenyum lebar. "Terima kasih, Kak."
"Eh, kamu ngga sholat?" Violette mengalihkan pembicaraan sambil mendelik pada Roy.
Roy menelan kurmanya dan mendeham. Berhadapan dengan Kakak Violette, dia harus mencitrakan diri sebagai anak alim. Kalau tidak, bisa-bisa semua rencana gagal sebelum dilaksanakan. "O, ya, aku ke musholla sekarang."
"Tahu tempatnya?" tanya Violette menghentikan gerakan Roy, "biar kuantar." Violette berdiri dan berjalan mendahului Roy.
Setelah menutup pintu kamar kakaknya dan berjalan beberapa langkah, baru Violette membuka suara, "Lebaran di rumah Papa tidak ada dalam perjanjian kita. Aku ngga mau."
"Sebut saja harganya," balas Roy santai.
Langkah Violette terhenti. Segera, dia menghadap Roy lurus-lurus dengan tangan dilipat di dada. "Kamu pikir segalanya tentang uang? Untuk lebaran ini, uangku sudah cukup," geram Violette.
Roy ikut melipat dada dan sedikit menunduk agar dapat menatap mata Violette langsung. "Ini bagian dari perjanjian. Sebagai calon istri, wajar kalau kauikut merayakan lebaran di rumah calon mertua."
Violette mendengkus sambil memamerkan senyum mengejek. "Biar kuulang lagi perjanjian kita. Kamu membutuhkan seorang penerus yang sah secara hukum, karenanya menikah adalah caranya. Lalu tugasku adalah, menikah denganmu, mengandung anakmu, kemudian menyusuinya, mengasuhnya, dan mendidiknya untuk menjadi penerus Forrester. Begitu?"
Roy merapatkan bibirnya.
"Lalu di mana bagian aku harus ikut lebaran sama calon mertua?"
"Okay, aku minta layanan tambahan. Aku harus bayar berapa."
Violette mendecak. "Lebaran adalah hari libur nasional. Tidak ada layanan tambahan hari itu."
Roy terdiam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bayi Buat Pak Boss
RomanceWarning 21+ Roy Forrester, pimpinan Forrest Group terpaksa mengikuti perintah ayahnya untuk menikah. "Perusahaan kita adalah perusahaan keluarga. Kalau kau tidak punya keturunan, siapa yang akan mewarisi hasil kerja keras kita ini nanti?" ucap ayahn...