Jamie membanting ponsel ke kasur. Seharian sudah Roy sama sekali tidak berkabar. Sudah 24 jam sejak kekasihnya itu pamit untuk mendapatkan hasil pemeriksaan DNA. Pesan yang dikirimkan sejak tengah hari, masih belum dibaca hingga matahari terbit lagi.
Dia mandi dengan kesal, berpakaian dengan kesal, bahkan secangkir caffe latte pun tak dapat meluruhkan kekesalannya. Berbagai pikiran yang berhulu dari kecurigaan bermain-main di otaknya. Gadis itu seperti telah merenggut Roy dari pelukannya dan Jamie sungguh-sungguh tidak rela.
Dimatikannya ponsel dengan penuh kemarahan. Seharian menunggu kabar sudah cukup, dia tak mau terus-terusan memikirkan orang yang sepertinya bahkan tak memikirkannya sedikit pun. Namun, otaknya tidak seperti ponsel yang dengan menekan satu tombol dapat berhenti beraktivitas. Sel-sel kelabu di dalam kepalanya itu terus saja bekerja, memutar ulang suara Roy yang dalam dan menghanyutkan disertai mata tajam yang membuatnya tak berkutik.
Jamie merasa kacau. Diramunya secangkir espresso, kemudian disiramnya dengan susu tanpa melalui proses steaming. Diaduknya hingga hitam dan putih bercampur menjadi cokelat.
Setelah itu, diam. Dipandangnya pusaran cokelat yang terjadi akibat adukan sendok. Semua yang berawal pasti akan berakhir. Apakah hubungannya dengan Roy pun akan berakhir dengan cara paling menyedihkan seperti itu?
Menjelang tengah hari, masih tak ada kabar dari Roy. Apa dia tidak sadar bahwa Jamie sudah mematikan ponselnya? Apakah Roy tidak ingin mengetahui bagaimana keadaan kekasihnya?
Perasaan Jamie makin kacau. Kantor Roy hanya berjarak beberapa menit menggunakan elevator, tetapi sampai matahari berada tepat di puncak ubun-ubun, lelaki itu tidak berusaha menghubunginya. Diremasnya ponsel dan diketuk-ketukkannya benda pipih itu ke meja coffee bar. Benar-benar mengesalkan.
Tiba-tiba pintu kafe terbuka dan Roy berjalan masuk, langsung melangkah masuk ke kantor. Jamie mengembus napas keras. Kemarahan dan kekesalan menumpuk di kepalanya. Dengan menghentak kaki, ia mengikuti Roy masuk kantor.
"Ke mana aja kamu ...." Kata-kata Jamie tiba-tiba terbungkam oleh mulut Roy yang rakus. Jamie berusaha menarik kepalanya tetapi pintu di belakang punggung menghalangi gerakannya. Roy makin menekan, tangan kirinya memutar kunci pintu, memastikan tak akan ada yang mengganggu aktivitas mereka di dalam ruangan itu.
***
"Kenapa kamu ngga bales chat-ku?" tanya Jamie, merapikan kemeja Roy yang kusut akibat remasan tangannya.
"Kenapa kaumatikan ponsel?"
Jamie cemberut. "Kamu yang matiin hape duluan."
"Aku lupa mengisi ulang baterai. Aku baru ingat dalam perjalanan pulang. Maaf."
"Emangnya kamu ngga kangen aku?" tanya Jamie merajuk.
Roy menatap mata kekasihnya dalam. "Aku sudah di sini. Apa itu tidak cukup jadi jawaban?"
Jamie mengusap kerut-kerut yang membentuk lingkaran di kemeja Roy. "Abis, kayanya kalo lagi sama dia, kamu lupa sama aku."
Sejurus, Roy terdiam. Didekapnya tubuh Jamie erat. Ditumpangkannya dagu di pundak kekasihnya. Otaknya berusaha mencari kalimat untuk membantah kata-kata Jamie, tetapi bagaimana caranya membantah kebenaran?
"Aku kangen banget, tau?" bisik Jamie parau.
Roy menarik napas dalam. Dipejamkannya mata dan didekapnya Jamie semakin erat. Dia ingin mengatakan hal yang sama, tetapi itu akan jadi suatu kebohongan yang tak dapat ditanggungnya. Kerinduan bukanlah perasaan yang membawanya menemui Jamie. Kebingungan dan keraguanlah yang mendorongnya melangkahkan kaki siang itu.
Kebingungan dan keraguan yang ternyata tetap saja tak dapat diselesaikan.
***
"Aku akan menemui WO dan agen properti sore ini, mungkin sampai malam. Kau bisa pulang sendiri, kan?" tanya Roy ketika berpamitan sebelum kembali ke kantornya.
Jamie menyambutnya dengan raut muka cemberut. "Sama cewek itu?"
Roy tersenyum. "Kenapa kau masih saja cemburu?" katanya, sedikit menunduk ke dekat kuping Jamie, "dia sudah tahu soal kita."
"O, ya?" Jamie tak dapat menyembunyikan keterkejutannya.
Roy mengangguk dan tersenyum. "Dan baginya itu bukan hal penting. Yang penting dia dapat bayarannya."
Jamie tertawa lega. "Okay, jangan nakal, ya."
Roy tertawa kecil. "Apa aku kurang nakal padamu?"
Jamie menggigit bibirnya dan satu tusukan halus dari jari telunjuk bersarang di pinggang Roy.
***
Violette duduk di salah satu meeting room Forrest Group sembari menyimak beberapa video berisi rekomendasi properti. Roy menyuruhnya memilih tiga apartemen untuk dilihat setelah jam kantor berakhir. "Pilih yang menurutmu paling cocok untuk tempat tinggal sebuah keluarga," pesan Roy sebelum meninggalkanya sendirian.
"Keluarga?"
"Ya. Kau akan tinggal di sana nanti, membesarkan anak kita. Jadi pilih yang menurutmu paling cocok untuk membesarkan anak-anak."
"Anak kita?"
"Kenapa? Ada yang salah?"
"Maksudnya, anakmu?"
Roy terdiam, berpikir sejenak, kemudian menjawab, "Ya, anakku."
Violette menghela napas. Anak Roy, bukan anaknya. Dia hanya penyedia jasa persewaan rahim dan baby sitter.
Diusapnya kening yang tidak gatal. Kata orang, kasih ibu sepanjang masa. Namun, dia berharap tidak jatuh sayang pada anak yang akan dilahirkannya nanti. "Semoga," gumamnya seperti bisikan. Bagaimana pun, ini hanya soal uang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bayi Buat Pak Boss
RomanceWarning 21+ Roy Forrester, pimpinan Forrest Group terpaksa mengikuti perintah ayahnya untuk menikah. "Perusahaan kita adalah perusahaan keluarga. Kalau kau tidak punya keturunan, siapa yang akan mewarisi hasil kerja keras kita ini nanti?" ucap ayahn...