7. Kecewa

3.2K 318 40
                                    

Matahari belum muncul ketika Roy bertolak dari apartemen. Demi menghindari macet, dia bangun jauh lebih pagi, berangkat juga lebih pagi. Sebenarnya, dia nyaris tak bisa tidur menunggu hari keluarnya hasil tes kesehatan dan DNA mereka.

Di ufuk timur, matahari mulai menampakkan cahaya merahnya. Roy tersenyum memandang langit yang seolah-olah menyapanya dengan hangat. "What a beautiful day!" gumamnya, menyalakan radio yang juga langsung menyerukan kegembiraan dengan musik easy listening berbahasa Inggris.

Di lampu merah, seorang perempuan menggendong bayi sembari menadahkan tangan. Ah, bulan puasa begini, para pengemis seperti bereproduksi lebih cepat dari biasanya. Tiba-tiba saja mereka sudah memenuhi tiap perempatan yang menyediakan perhentian berupa lampu merah. Padahal satpol PP tak pernah absen menertibkan. Ibarat rumput liar, tiap dicabut, selalu tumbuh lagi lebih subur. 

Seorang gadis belia berkerudung merah kusam mendekati mobil Roy. Kulit wajahnya legam terbakar matahari, matanya bulat besar, bibirnya kering dan pecah-pecah. Dia memeluk keranjang kecil bertuliskan "INFAK DAN SHODAQOH ANAK YATIM".

Roy mengembus napas. Harusnya mereka menggunakan cara yang lebih elegan untuk mencari dana, bukan dengan cara yang merusak harga diri begitu. Lagipula, dia tak habis pikir, mengapa selalu anak yatim yang dijadikan alasan? Kenapa bukan anak piatu? Rasanya tak punya ibu lebih buruk daripada tak punya ayah. Roy sudah merasakannya.

Tepat di samping jendela, gadis berkerudung merah kusam itu mengangkat selembar karton bertuliskan, "Semoga anak keturunan Bapak selalu sehat sejahtera, aamiin." Mata Roy membelalak. Dia sedang dalam perjalanan untuk mengambil hasil tes yang akan memrediksi bagaimana kesehatan anaknya kelak. Lalu tiba-tiba mendapatkan doa seperti ini, jantungnya berdegup kencang tak keruan. 

Dia tidak percaya pada kebetulan. Dia percaya pada kerja keras. Namun, tulisan di karton itu membuatnya berpikir ulang.

Diambilnya selembar uang kertas dari dalam dompet dan diberikannya melalui celah jendela. Gadis itu ternganga melihat selembar pecahan seratus ribuan kemudian membungkuk berkali-kali hingga lampu lalu lintas berubah hijau. 

Roy mengenakan kacamata hitamnya dengan santai. Agak heran mengapa gadis itu harus membungkuk berkali-kali, padahal dia hanya memberikan selembar uang pecahan terkecil yang ada di dompetnya.

***

Rumah sakit masih sangat sepi ketika ia tiba di ruang tunggu dokter. Roy memaklumi itu, jam kerja memang belum dimulai. Hanya antrean di bagian pendaftaran yang terlihat sangat ramai. Tampaknya orang-orang bersicepat untuk mendapatkan pelayanan paling awal.

Dibukanya aplikasi Find Me untuk mengabarkan Violette bahwa ia sudah tiba di rumah sakit. Gadis itu belum mau memberikan nomor ponselnya karena hubungan mereka belum pasti. Namun, setelah hasilnya keluar nanti, Roy bertekad untuk mendapatkan nomor pribadi Violette. Kalau hasilnya tidak bagus, anggap saja mereka saling menyimpan nomor kontak sebagai sahabat, siapa tahu nanti dibutuhkan untuk memperluas jaringan. 

Violette langsung muncul tak sampai lima menit setelah pesan dikirim. Ternyata dia bukan yang paling pagi tiba di rumah sakit. Jangan-jangan gadis itu juga tak bisa tidur semalaman. Roy menahan senyum memikirkan hal itu.

"Tidur nyenyak semalam?" tanya Roy setelah Violette duduk di sisinya.

"Alhamdulillah," jawabnya disertai senyum manis dan anggukan lembut.

Ada setitik kekecewaan menyentuh sudut hati Roy. Ternyata hanya dia sendiri yang sangat menantikan hari perjumpaan mereka, ehem, maksudnya hari keluarnya hasil tes mereka.

Keheningan meliputi keduanya agak lama. Violette mengeluarkan ponselnya dan mulai mengusap-ngusap layar dengan tenang. Suasana terasa sunyi sekali di ruang tunggu tersebut. Mungkin hanya jantung Roy yang berderap ribut seperti sedang berkejaran dengan jarum detik. 

"Jam berapa sampai di sini?" Akhirnya Roy menemukan kalimat untuk memecah kesunyian.

"Aku menginap di sini. Kakak masih dirawat," jawab Violette, sedikit mengangkat wajah dari ponsel.

Roy manggut-manggut. "Bagaimana kabar kakakmu?"

Violette menghela napas, lalu tersenyum pahit. "Masih hidup."

"Masih hidup?"

Violette mengangguk, menatap Roy dengan ekspresi gembira yang dibuat-buat. "Ya, itu sesuatu yang patut disyukuri, bukan?"

Roy tak terima. "Apa aku ngga boleh tahu bagaimana keadaan kakakmu? Nantinya aku juga harus menanggung kehidupannya, kan?"

"Itu nanti. Sebelum itu, sebaiknya kita tak usah saling terlibat urusan pribadi terlalu dalam. Nanti jadi susah untuk keluar dari hubungan ini."

"Kata orang, tak kenal maka tak sayang. Apa salahnya kita saling mengenal? Kalau pun nanti ternyata hasil tesnya merekomendasikan kita untuk tidak menikah, kita tetap bisa menjadi sahabat, bukan?"

Violette tersenyum geli. "Tak kenal maka tak sayang," katanya, "apa kamu berani jatuh sayang sama aku?"

Roy merasa pipinya menghangat, padahal tidak ada cahaya matahari yang jatuh di kepalanya. "Apa kau berani? Jatuh sayang padaku?"

Violette menggeleng. "Ngga. Hubungan kita sepenuhnya hanya bisnis. Biar saja begitu. Kalau sampai melibatkan perasaan, bisa jadi sangat menyakitkan nanti."

Roy manggut-manggut. Kekecewaan yang sebelumnya hanya setitik, tiba-tiba beranak-pinak banyak sekali hingga membentuk satu spot besar. Satu spot yang ia tak tahu dari mana asalnya. 

Apa yang dikatakan Violette benar sekali. Hubungan mereka memang semata hanya bisnis. Lalu mengapa ia harus kecewa? 

Bayi Buat Pak BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang