48. Di Persimpangan

504 66 12
                                    

“Hah?” Violette meledak dalam tawa. “maksudnya?”

Roy menelan ludah. “Aku ingin menciummu.”

Melihat ekspresi serius di muka Roy, tawa Violette terhenti seketika. “Kamu serius?”

Roy mengangguk mantap. “Aku ingin tahu, apa yang sebenarnya kurasakan.”

Violette mengernyit. “Memangnya, apa yang kamu rasakan?”

Roy melipat bibirnya ke dalam, lalu kembali bersandar di kursinya. “Tidak tahu.”

Violette diam, mempelajari guratan wajah Roy yang menyajikan kebingungan. “Kamu kenapa?” tanya Violette, lembut.

Roy menekan pangkal hidungnya dengan jempol. Panjang sekali jika harus diceritakan. Dia bahkan tidak tahu harus memulai dari mana. Apakah dari malam-malam susah tidurnya, ataukah dari pikirannya yang terlalu mudah mengaitkan segalanya dengan Violette. "Aku khawatir telah jatuh cinta kepadamu," katanya, ragu.

"Hah?" Violette yakin dia telah salah dengar. "Maksudnya?"

Roy menepuk setir. "Aku tidak tahu, Violette. Ini terlalu tidak masuk akal," katanya, "karenanya, aku ingin mengonfirmasinya." Matanya menatap Violette langsung.

Violette ternganga. Seluruh tubuhnya seperti beku. "Dan caranya adalah dengan menciumku?"

Roy mengangguk. 

Violette menghela napas, menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi dan menggumam pelan, "Sebenarnya, apa yang kamu rasakan?"

Roy menyandarkan kepalanya ke sandaran. "Aku tidak tahu."

Violette ikut-ikutan menyandarkan kepala ke headrest. 

"Saat tidur dan mematikan lampu, aku bertanya-tanya, apa kau ketakutan? Apakah lampu di kamarmu masih menyala? Apakah kau kedinginan? Karena aku merasa sangat kedinginan. Aku menginginkan kehangatanmu di dadaku. Aku ingin menghirup harum rambutmu lagi." Roy diam sebentar, lalu menoleh, menatap langsung Violette. "Apa kau merasakan hal yang sama?"

Violette menggigit bibirnya sendiri. Sejak hari mereka memutuskan untuk tinggal terpisah, dia tidak lagi tidur dengan lampu menyala. Dengan sengaja, dimatikannya lampu dan disusunnya bantal di punggung. Alasannya sangat sederhana, dia ingin merasakan lagi kehangatan seperti ketika Roy mendekapnya. Dia sadar, rasanya tidak akan sama. Namun, setidaknya, dia merasa lebih nyaman tidur dengan cara begitu.

Bagi Violette, itu tidak ada hubungannya dengan cinta atau jatuh cinta. Dia hanya merasa bahwa tidurnya lebih nyaman saat punggungnya terasa hangat, tidak lebih.

“Kurasa, aku merindukanmu,” kata Roy lagi, lebih pelan dari sebelumnya. Dua kata terakhir malah terdengar seperti bisikan.

Violette memejamkan mata, berusaha melihat ke dalam dirinya sendiri. Perlahan, dia menggeleng. Tentang bantal yang disusun di punggung, tentang lampu yang dimatikan saat tidur, Violette yakin, itu hanya soal kebiasaan baru yang terasa lebih nyaman. 

“Kapan terakhir kamu sama cowok?” tanya Violette, pelan.

Roy mengenyit. “Kapan?”

“Kamu pasti udah lama banget ngga sama cowok, makanya jadi salah menilai perasaan sendiri.”

Roy terdiam. Diremasnya setir dengan dua tangan. Terakhir kali, tentu bersama Jamie, rasanya sudah lama sekali. Terlalu lama, Roy hampir lupa. “Mungkin, hampir dua bulan yang lalu. Setelah mengantarmu pulang dari Puncak.”

Violette tercengang. “Wow! Lama sekali!”Kepalanya manggut-manggut. “Pantes,” gumamnya.

“Tapi ….” Roy menghela napas. “Waktu itu ….”

Bayi Buat Pak BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang