18. Pilot Dadakan

2.1K 273 28
                                    

Sandra kembali lagi beberapa menit setelah keluar. "Maaf, Pak. Pak Hendrik tidak bisa dihubungi. Teleponnya tidak diangkat," lapornya takut-takut.

Roy menutup bolpoin dan mengetuk-ngetukkannya beberapa kali ke meja. "Tunggu tiga puluh menit. Kalau tidak datang juga, saya yang akan menerbangkannya."

Waktu seakan-akan berhenti. Sandra dan Violette membeku di tempat masing-masing. 

Roy menyerahkan berkas yang sudah ditandatanganinya. "Ada lagi?" tanyanya pada Sandra.

Dengan cepat, Sandra menggeleng. "Terima kasih, Pak. Saya akan terus mencoba menghubungi Pak Hendrik."

"Tunggu," kata Roy, menghentikan langkah Sandra, "kolaknya buatmu saja."

Sandra tersenyum canggung, lalu berlalu sambil membawa kolak pisang.

Violette berpindah posisi duduk ke depan meja Roy. "Kirain kamu pilot pesawat terbang, ternyata pilot helikopter, ya?"

Mata Roy fokus memperhatikan layar komputer sementara tangannya lincah mengklik tetikus. "Memang pilot pesawat."

Violette sedikit terkejut. "Tapi juga bisa menerbangkan helikopter?"

"Nanti kita coba," jawabnya enteng, membuat Violette ternganga.

Violette berusaha tetap tenang. "Ini bakal jadi pengalaman pertama kamu nerbangin helikopter?"

"Yap."

Violette menelan ludah. "Ehm, Roy. Setelah buka saja ke rumah sakitnya, tidak apa-apa, kok. Serius, tidak apa-apa. Tidak usah memaksakan diri. Bisa gawat kalau ada apa-apa."

Roy memandang Violette sejenak, lalu berkata, "Tenang. Menerbangkan pesawat atau helikopter intinya sama, cuma alatnya saja yang berbeda."

Violette menyipitkan mata. Hati kecilnya tidak percaya begitu saja. "Tapi menerbangkan helikopter, bukannya butuh lisensi juga, ya?"

"Yap. Mungkin setelah ini aku akan cari lisensi biar kautenang," katanya, melirik Violette sedikit dari balik layar komputer, "do you trust me?"

Violette menarik napas dan mengembuskannya cepat. "I do." Tetapi ia tahu, ini bukan soal kepercayaan.

Roy tersenyum tipis.

"Tapi ini bukan emergency, kok. Kamu tidak perlu ...."  

Tatapan tajam Roy mengentikan kata-kata Violette. "Jadi kau lebih memilih buka puasa bersamaku daripada bersama kakakmu?"

Violette mengepalkan tangan di paha. Bukan itu yang ada di pikirannya. "Kamu pasti sudah lelah sekali seharian bekerja. Tidak perlu memaksakan diri ...."

"Kau tidak suka naik helikopter bersamaku?"

Violette mendecak, bukan itu yang ada di pikirannya. Beberapa detik, dia membalas tatapan tajam Roy, berusaha menyelami apa yang ada dibalik kepala pemuda itu. Kemudian mengembus napas pasrah. Dengan melipat tangan di dada, dia berkata, "Okay, jadi kamu mau belajar mengendarai helikopter dalam waktu tiga puluh menit?"

"Dua puluh sembilan menit," balasnya, melirik sudut kanan layar komputer.

"Baiklah, aku tidak akan mengganggu," kata Violette, kembali duduk di kursi tamu.

***

Setelah tiga puluh menit, Hendrik tidak juga dapat dihubungi. Roy segera bersiap menerbangkan helikopter itu sendiri. 

Violette menahan debaran jantung yang makin menggila, menjajari langkah-langkah lelaki itu. Dia tak habis pikir, mengapa Roy begitu berkeras mengantarnya dengan helikopter. 

Di elevator, Roy melepas jas dan menyampirkannya di pundak Violette. "Di atas bakal lebih dingin dari ruanganku," katanya, melepas dasi dari leher dan memasukkannya ke saku celana.

Violette memasukkan tangannya ke lengan jas itu hingga seluruh tubuhnya seperti tenggelam di dalam kain. Dia harus menggulung sedikit lengan jas agar tangannya tidak terkurung di dalam.

Roy terlihat sangat bersemangat. Violette bahkan dapat melihat senyuman tak lepas dari bibirnya. 

Mungkin ini bukan tentang mengantarnya naik helikopter, tetapi tentang kerinduan Roy pada terbang. Berpikir seperti itu, Violette sedikit lega. Setidaknya, dia tahu bahwa Roy tidak sedang berkorban sesuatu untuknya.

Mata Roy tampak berbinar begitu berada di kursi pilot. Tangannya menekan-nekan tombol dengan cekatan. Baling-baling mulai berputar, menghasilkan suara bising yang memekakkan telinga. 

Roy tampak berbicara sesuatu, tetapi Violette tidak mendengar. Kemudian dia mengambil headset yang tergantung di bagian belakang kursi dan memasangkannya di kepala Violette. "Bisa dengar aku sekarang?" tanyanya.

Violette tertawa kecil, menyadari kebodohannya lalu mengangguk dengan senyum lebar. Roy memasangkan sabuk pengaman lalu kembali duduk tegak di kursinya. Pelan-pelan, ditariknya tuas di sebelah kiri. Perlahan helikopter mulai terangkat meninggalkan atap.

Violette tertegun, melihat lelaki yang duduk di sampingnya itu. Dia tak terlihat seperti Roy yang biasa ia temui. Ada binar kegembiraan di matanya yang fokus menatap cakrawala di hadapan. Sesuatu yang belum pernah dilihat Violette sebelumnya.

 "Apa aku seganteng itu?" Kalimat Roy mengejutkan Violette.

Spontan ia mengalihkan pandang dan tertawa untuk menutupi kecanggungan. "Kamu suka sekali terbang, ya?"

"Yeah, apalagi berada di atas awan. Wow, pemandangan dari dalam cockpit itu menakjubkan. Kau harus lihat."

"Hmm, mungkin aku harus belajar terbang juga biar bisa liat."

Roy terbahak. "Nanti aku perbarui license-ku, jadi aku bisa mengajakmu melihat matahari terbenam dari atas awan." 

Violette tertawa. "Kayanya dari jendela pesawat juga bisa, deh, ngga harus dari cockpit."

"Oh, kau tidak tahu. Pemandangan dari jendela cockpit itu berbeda. Pemandangan luas tanpa batas, kau akan tahu rasanya."

Violette tidak tertawa lagi. Matanya memandang takjub pada luasnya cakrawala di hadapan. Suatu pemandangan yang hanya dibatasi oleh jarak pandang. Dalam hati ia setuju, pemandangan di atas awan pasti lebih indah dari yang ada di depan matanya saat itu.

***

Sampai di kamar kakaknya, Violette menata kurma sukari di nakas. Basskara masih tidur, hingga gadis itu bergerak pelan-pelan sekali agar tidak mengganggu.

Roy duduk di sofa yang disediakan tak jauh dari tempat tidur. Tubuhnya terasa lelah sekali setelah lima belas menit mengendalikan helikopter di atas Jakarta. Sebuah pesan masuk dari Sandra, mengabarkan bahwa Hendrik sudah bisa dihubungi dan segera bertolak menuju rumah sakit, sekaligus mengantarkan mobil Roy.

"Capek?" tanya Violette, duduk di samping Roy.

Roy membalasnya dengan tatapan mata kelelahan. 

"Tidurlah," kata Violette.

Roy mengangguk, lalu, dengan tenang, merebahkan kepala di pangkuan Violette. Gadis itu ingin protes, tetapi melihat mata Roy yang terpejam, seluruh kata-kata akhirnya ia telan balik ke kerongkongan.

Dengan mengembus napas pasrah, Violette menopang kepalanya dengan kepalan tangan. Sementara tangan kirinya menyisir helaian rambut Roy yang halus dan tebal. Perlahan bibirnya mengulas senyum tipis. CEO Forrest Group itu terlihat seperti kucing manis yang tertidur di pangkuan.

Bayi Buat Pak BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang