16. Salah?

2.1K 257 22
                                    

Restoran itu juga menyediakan satu ruangan khusus sebagai musala. Ruangan itu sebenarnya cukup nyaman dengan pendingin ruangan dan karpet merah yang empuk. Sayangnya, banyaknya pelanggan yang hendak salat pada satu waktu, membuat ruangan yang tidak lebih besar dari rumah petak Violettte itu penuh sesak.

Violette terpaksa duduk di bangku panjang tempat para lelaki mengenakan sepatu selepas salat. Bangku panjang yang disediakan di depan area perempuan sudah dipadati ibu-ibu juga anak-anak kecil yang tidak ikut salat. 

Randy juga duduk di sana, menggendong bayinya. Dia terlihat gembira sekali menatap si bayi sementara mulutnya komat-kamit mengajak si bayi berbicara.

Violette menghela napas dan memejamkan mata, menepis rasa iri yang menyelusup tiba-tiba. Dia tak boleh berharap hal yang seperti itu akan terjadi padanya setelah melahirkan anak Roy nanti. Namun, ia bisa berharap mendapatkan baby sitter besertifikat sebagai gantinya. Jelas, itu lebih baik.

Seseorang duduk tepat di sampingnya hingga menggoyangkan bangku panjang itu. Violette membuka matanya seketika. 

"Eh, sorry." Lelaki itu menatapnya dengan secercah rasa bersalah. 

Violette tersenyum dan menggeleng, tak ada yang perlu dimaafkan. Dia membalas senyum dan memulai pembicaraan sembari memasang kaus kaki, "Ternyata gosip itu ngga bener, ya?"

"Gosip?"

Lelaki itu tertawa kecil, memasukkan kakinya ke dalam sneaker. "Dulu Roy sama Randy suka dibilang homo gara-gara ke mana-mana berdua," ceritanya santai, dibubuhi tawa ringan, "sampai Randy nikah pun, tetep aja digosipin kalau dia nikah terpaksa. Apalagi anaknya lahir, pas banget sepuluh bulanan setelah nikah. Jangan-jangan bukan dia yang bikin, tapi dia yang kena getahnya."

Violette tertawa. "Segitunya. Sepuluh bulan, rasanya pas-pas saja. Mungkin nikahnya tepat di hari subur, makanya langsung jadi."

Lelaki itu ikut tertawa. "Yah, namanya juga gosip. Tapi pas liat Roy juga bawa cewek, semua jadi yakin kalo itu cuma gosip."

Violette manggut-manggut. Akhirnya dia mengerti, mengapa Roy merasa perlu membawanya ke acara buka bersama itu.

***

Roy mengambil semangkuk es buah sambil menunggu Violette kembali dari salat. Dia duduk di meja, sendiri, memandangi ransel besar tempat Randy memuat seluruh kebutuhan bayinya. Dirapatkannya bibir dan dihelanya napas. Perlahan, disendoknya es buah yang sudah diaduk hingga kental manis yang tadinya membentuk jalur-jalur panjang di atas tumpukan buah, menyatu padu ke dalam air.

Randy datang ketika es buahnya  tinggal setengah. Dia mengosongkan sebagian meja dan menata selembar selimut di atasnya. Roy mengulurkan tangan untuk membantu merapikan kain tebal tersebut. Setelah menidurkan si bayi di atas selimut, Randy menyandarkan punggung di kursi.

"Punya bayi sepertinya melelahkan sekali."

Randy tertawa kecil. "Yah, tapi begitu liat wajahnya, apalagi pas lagi ketawa. Semua lelah itu hilang. Lagian, Merry pasti lebih lelah."

Roy mengangguk dan tersenyum. "Aku senang kau bahagia."

Randy tertegun sesaat. "Kamu juga bahagia, kan? Dengan Violette?"

Roy mengangguk lagi dan tersenyum lebih lebar dari sebelumnya. "Yah. Kau keliatan jauh lebih bahagia daripada ketika kita bersama," ujarnya lirih dalam suara yang rendah sekali hingga nyaris tak terdengar.

Randy terdiam. Ditatapnya mata sang sahabat yang seolah tertutup wana tebal. Lalu dengan sedikit merunduk, ia bertanya, "Kamu dan Violette ...."

"Kami akan menikah," Roy buru-buru memotong, "kami punya perasaan yang sama dan bersepakat untuk menikah. Jangan lupa datang ke pesta pernikahan kami nanti."

Randy manggut-manggut. "Pasti. Beritahu saja tanggalnya, kami pasti datang. Kamu akan tahu nanti, laki-laki dan perempuan diciptakan untuk saling mengisi. Itu sebabnya Tuhan ciptakan dua jenis kelamin, bukan satu."

Bibir Roy mencibir halus. Tuhan itu yang memisahkan mereka. Tuhan yang otoriter, yang menjatuhkan putusan sewenang-wenang, tanpa memedulikan perasaan manusia. Lagipula, kalau Dia memang Maha Pencipta, bukankah berarti dia juga yang menciptakan segala perasaan? Kenapa dia tidak menciptakan perasaan terbatas, yang hanya bisa ditujukan pada jenis kelamin yang berbeda? Dengan kesal ditandaskannya es buah di mangkuk.

***

Roy tak tahan lagi berlama-lama semeja dengan Randy dan keluarga kecilnya. Kebahagiaan yang mereka pertontonkan membuat kepala Roy pening tujuh keliling. Diajaknya Violette pulang dengan alasan akan terlalu malam tiba di rumah jika harus menunggu acara selesai.

Di dalam mobil, Roy mengembus napas lega. Violette memperhatikannya dengan rasa iba. "First love never dies, ya," ujarnya lembut.

"Hm?"

"Kamu mengajakku ke sini buat menepis gosip itu, kan?"

"Gosip apa?" balas Roy, memutar kunci mobil.

"Gosip yang bilang kalo Randy nikah terpaksa."

Roy menoleh, menatap Violette dalam diam. Dia mendengkus pelan, lalu mengalihkan pandang ke jalanan dan melepas rem tangan. Di depan mereka, di lajur parkir seberang, Randy membukakan pintu mobil untuk istrinya.

Gerakan Roy terhenti. Matanya tajam menatap keluarga kecil itu masuk ke dalam mobil.

"Dia sayang banget sama istrinya, ya," ujar Violette lirih, "dia bener-bener udah tobat ternyata."

 "Tobat," balas Roy tajam, "apa kau juga menganggap bahwa apa yang aku dan Jamie lakukan salah?"

Violette menatap lelaki yang meremas setir di sebelahnya. "Menurutmu?"

"Apa salahnya dengan mencintai dan mengekspresikannya?" balasnya setajam silet.

"Hm, tergantung dari tujuan hidup, kayanya, ya. Kamu hidup di dunia ini buat apa? Dari situ baru kita bisa runut, nilai apa yang harus kita anut buat mencapai tujuan itu. Kalo udah dapet nilainya, baru kita bisa putuskan benar atau salah."

"Hhh, ribet sekali." Roy memindahkan gigi untuk mundur lalu mengeluarkan mobil dari area parkir. "Hidup ini untuk dinikmati, titik." 

Violette tersenyum geli. "Orang kaya, sih, ya. Simpel aja, hidup buat dinikmati. Coba kalo kayak Kakak. Tiap hari hidupnya di ujung tanduk. Buat dia, sekadar bisa napas dengan bebas saja sudah luar biasa. Malah, kayanya lebih baik mati saja biar tidak usah menderita lagi. Tapi dia tetap berusaha bertahan hidup. Karena hidup itu bukan demi hidup itu sendiri. Ada sesuatu yang lebih besar dari hidup yang selalu dia perjuangkan setiap detik."

"Apa yang lebih besar dari kehidupan?" tantang Roy.

"Buat Kakak, itu adalah ridha Allah. Kalo dapat ridha Allah, hidup bakal aman, damai, tenteram dunia akhirat."

Roy mendecak. "Huh, bergantung pada tujuan abstrak yang tidak akan mungkin tercapai. Itu sama saja seperti keledai yang mengejar wortel yang digantung lima senti di depan hidungnya."

Violette terdiam.

"Bahkan si keledai lebih beruntung, setidaknya dia bisa mencium aroma wortelnya. Lalu kakakmu? Apa dia bisa mencium aroma ridha Allah?" Roy mendengkus lagi. 


Bayi Buat Pak BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang