30. Menjadi Suami

2.4K 251 24
                                    

Ponsel Roy bergetar, panggilan dari staf WO. "Ada yang bisa saya bantu, Pak?"

"Saya mau menikah sekarang, apa bisa diatur?"

"A-a-pa?"

"Tak usah khawatir, saya siapkan kompensasi  yang layak untuk Anda atas kerepotan ini."

"Ehem, bukan gitu, Pak. Tapi sekarang, kan, baru hari kedua lebaran. Penghulunya ...."

"Seratus ke rekening pribadi Anda, cukup?"

Spontan, Violette menegakkan tubuhnya, menatap Roy dengan kening berkerut sambil menggeleng-gelengkan kepala kuat-kuat. Roy mengabaikan gestur yang dibuatnya, malah kembali menarik gadis itu agar bersandar kepadanya. 

"Kurang?" tanya Roy lagi yang disambut dengan agak gagap dari seberang sambungan telepon. Staf WO itu kemudian berjanji akan mencari cara untuk melangsungkan pernikahan secepatnya.

"Kenapa kamu maksa banget?" tanya Violette setelah berhasil melepaskan diri dari lingkar lengan Roy.

Roy menatap Violette sesaat lalu berkata. "Kepalang basah, Vio," katanya, "hidupmu sudah telanjur dalam bahaya. Kalau terjadi apa-apa lagi seperti semalam, aku tak bisa melakukan apa-apa karena aku bukan siapa-siapamu. Paham?"

Violette terdiam. Otaknya berpikir keras. Dia memang tidak terlalu paham, jalan pikiran Roy terasa terlalu rumit.

***

Pernikahan akhirnya dapat dilaksanakan sore itu juga. Basskara memberikan wewenang sebagai wali untuk menikahkan adiknya kepada penghulu karena dia sendiri agak kesulitan untuk duduk dan berbicara lancar. Proses ijab kabul sedikit tersendat karena Roy tidak tahu bagaimana seharusnya melakukan ijab dan kabul. Beberapa kali dia melakukan kesalahan hingga penghulu memintanya untuk menghafalkan lafaz qabul dulu sebelum mulai melakukan proses ijab kabul lagi.

"Kenapa susah sekali mengucapkan satu kalimat saja?" keluhnya dalam gumaman sembari mengasingkan diri ke pojok koridor di depan kamar Basskara untuk menghafalkan lafaz qabul.

"Gimana? Mau mundur atau lanjut?" tanya Violette dengan tatapan yang seolah-olah berkata, dibilang juga apa.

Roy tersenyum lalu berkata penuh semangat. "Aku tak akan menyerah hanya karena satu kalimat."

Violette membalas senyumnya dan ikut bersandar di dinding koridor. Tiba-tiba, Roy meraih tangan Violette kemudian dengan sedikit menunduk, meletakkannya di atas kepalanya sendiri. "Bilang, kau mendukungku."

Mata Violette sedikit membulat menerima sensasi yang tiba-tiba dari lembutnya helaian rambut Roy. Namun, sejurus kemudian, ia tersenyum. "Kamu pikir, kenapa aku ngikutin kamu ke sini?" katanya, sembari diusapnya rambut Roy lembut.

Di kedalaman mata Violette, Roy melepaskan sauhnya. "Thanks," ucapnya mantap.

***

Prosesi ijab kabul akhirnya dapat diselesaikan dengan baik. Napas lega diembuskan Roy seolah-olah ikatan di paru-parunya terlepas begitu saja. 

"Yah, meski hanya satu kalimat pendek, ternyata sangat sulit diucapkan, ya, Pak Roy?" kata Pak Penghulu memulai khutbah nikahnya, "wajar jika berat mengucapkan satu kalimat itu, kalimat perjanjian yang berat ketika seorang lelaki mengambil janji untuk melindungi dan mencukupi kebutuhan seorang perempuan lahir dan batin, dunia dan akhirat. Itu memang bukan perjanjian yang main-main hingga disebut sebagai mitsaqan ghalizha di hadapan Allah."

Roy melirik Violette yang hanya duduk menunduk di sisinya, menyembunyikan air yang menggenang di mata.

"Semoga ini menjadi pengingat buat Pak Roy dan Mbak Violette berdua dalam menjalani pernikahan ini nantinya ...."

Bayi Buat Pak BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang