DUA SATU

3.9K 281 17
                                    

SELAMAT MEMBACA
_____

Leo menghempaskan tubuhnya merasa lega ia kembali ke rumah dengan cepat, Ia menoleh ke arah jendela hujan amat deras sudah membasahi ibu kota sejak beberapa jam yang lalu, udara dingin yang begitu menyejukkan membuat Leo ingin bersantai sejenak di teras kamarnya menikmati coklat panas buatan Bunda.

Leo menegakkan tubuhnya, mengambil langkah untuk ke kamar bunda membuka pelan pintu kamar kepalanya menyempil tersenyum lembut sebelum pandangannya terjatuh pada sosok bayi kecil yang sedang menangis sepertinya Lea lapar mengingat bunda sejak pagi tadi berada di rumah sakit.

"Kenapa Le?" Suara bunda Hanum terdengar dengan kemunculan bunda dari arah kamar mandi membuat Leo dengan cepat membuka pintu kamar sang Ibu dengan lebar membiarkan tubuhnya masuk.

"Di luar hujan Bun" Ahhh kenapa jadi seperti ini rasanya Leo begitu canggung hanya sekedar mengatakan bahwa ia ingin menikmati hujan dengan coklat panas bersama Bunda.

"Lebih baik kamu ke kamar istirahat, hujan seperti ini nyaman untuk tidur" Bunda menghampiri Leo mencium singkat pipi putranya lalu mengelusnya lembut  "Kembali ke kamar mu, istirahat!"

Leo terdiam sejenak akhirnya mengangguk berjalan untuk keluar menutup pintu kamar bunda dengan pelan, Ia meneruskan langkahnya ke arah dapur melihat bibi yang sedang menyiapkan makan malam untuk mereka semua.

"Bi, Leo mau teh hangat ya!"

Bibi yang semula fokus dengan wajan dan minyak itu sedikit menoleh terkejut, Tumben Leo meminta seperti itu biasanya anak itu merajuk pada majikannya "Nanti Bibi antar ke kamar kamu"

Leo mengangguk "Makasi Bi"

—-

Leo menatap secangkir teh yang baru beberapa menit Bibi antarkan, Leo hanya menatapnya tanpa ingin menyentuh. Leo menghela nafas ketika ucapan dokter Anggun kembali masuk dalam pikirannya. Bagaimana jika ia benar-benar kambuh lagi, Apa yang harus ia lakukan? Leo kembali menghela nafas bagaimanapun juga cepat atau lambat pasti kedua orang tuanya akan tahu, Mbak Anggun tidak akan pernah menyimpan rahasia seperti itu dengan lama apalagi dengan kondisi kesehatannya.

Rasa dingin yang amat dingin membuat Leo tak bisa bertahan lebih lama lagi,Ia berniat untuk masuk saja tapi sebelum kakinya yang semula bersilang di kursi kayu panjang itu menyentuh lantai selimut hangat sudah tersampir di pundaknya.

"Anak ayah kenapa disini?"

Ahhh sial, Suara Ayah begitu lembut membuatnya ingin berteriak bahwa ia merindukan semua yang ada di dalam rumah ini sebelum Lea datang, Ini sedikit egois tapi untuk Leo yang belum terbiasa ini bukanlah sesuatu yang mudah untuk ia jalani.

Berapa kalipun ia menguatkan dalam hati bahwa ia harus lebih mandiri dan tidak bergantung lagi kepada kedua orang tuanya, Tapi Leo rasa ia tak bisa, ia belum terbiasa dengan itu. Leo mengakuinya ia sedikit egois.

"Kamu minum teh? " Hengki nampak terkejut melihat secangkir teh yang berada di meja "Le yang manis-manis gak bo...?"

"Leo nggak minum" Ucap Leo menyadari kecemasan sang Ayah.

"Terus kenapa cangkir itu ada disini?"

Leo mengangkat kedua bahunya "Nggak ada coklat panas dari Bunda, bibi nggak tau buatnya"

Hengki tersenyum mengerti akan gerak gerik dari putranya "Biar ayah yang minum teh nya, daripada nggak di minumkan?"

Leo menatap ayah lalu mengangguk melihat Ayah yang sudah mengambil tempat di sampingnya.

Hengki melirik ke arah Leo memperhatikan anaknya yang kembali diam, Ia memilih merapatkan selimut Putranya kala melihat tangan Leo yang sudah memucat, tapi jika dalam keadaan seperti ini Hengki tidak akan menyuruh Leo masuk ia hanya perlu duduk berjaga sampai Leo ingin bercerita.

Tapi hampir lima menit tak ada yang buka suara Leo fokus ke depan memperhatikan air hujan yang jatuh mengenai pot bunga yang berada di balkonnya,  sedangkan Ayah memilih menghabiskan teh hangat tersebut,  sesekali menoleh ke arah putranya yang masih diam.

"Leo mau masuk sekarang yah" Leo menatap sang ayah.

Sedang ayah mengangguk mempersilahkan, akhirnya ia memilih untuk ikut masuk menutup pintu teras rapat-rapat menutup tirai kamar membiarkan kamar Leo kembali gelap ia menyalakan lampu yang berada di samping tempat tidur Leo, lalu duduk di samping tempat tidur menatap wajah putranya yang masih sedikit pucat .

"Beneran nggak mau cerita sama Ayah?"

Perlahan mata Leo terbuka pandangannya terjatuh pada balkon kamarnya dengan lubang kenangan di atas sana "Leo nggak ada masalah"

"Ayah itu tau segalanya tanpa kamu kasi tau?"

"Lalu kenapa ayah minta cerita?"

"Ayah hanya ingin kamu yang menjelaskannya pada ayah, barangkali dengan itu kita bisa mencari solusi"

"Permasalahan ini nggak ada solusinya yah"

"Kenapa?"

"Karena ini tentang keegoisan aku" Leo mematikan lampu tidur yang di nyalakan sang ayah tadi "Leo mau istirahat, Nggak usah bangunin makan malam Yah"

Hengki mengangguk paham, ia menarik selimut putranya rapat "Ayah keluar"

Selepas Ayah pergi Leo kembali membuka matanya menyandarkan tubuhnya pada tempat tidur mengelus perutnya yang terasa mulai sakit.

"Apa gue bakalan jadi Leo yang penyakitan lagi?"

———

"Kak makan!" Suara Lembut bunda Hanum membuat Ginan dan Gilang yang sedang duduk bersantai di ruang keluarga segera menghampiri Bunda yang berada di meja makan.

"Leo?" Tanya Ginan sembari menarik kursi.

"Dia udah tidur" Ucap Ayah membuat Ginan mengangguk paham, ia mendorong piring yang semula bibi taruh di hadapannya "Aku nggak makan Bun"

Hanum menghela nafas akhirnya mengangguk membiarkan putra pertamanya melenggang pergi.

Semua memaklumi, Ginan paling malas makan jika Leo tak ada entah kenapa tapi bagi Ginan sendiri melihat Leo ikut makan adalah satu hal yang bisa membuat nafsu makannya bertambah.

Ginan membuka pelan pintu sang Adik, gelap sunyi hanya suara pemanas ruangan yang memecah keheningan kamar ini.

Hujan masih saja turun, membuat udara yang sedari tadi sore dingin menjadi lebih dingin, Ginan merapatkan selimut sang Adik berharap Leo tak kedinginan saat ini.

Suara tangisan dari bawah membuat Ginan segera berdiri tapi terhenti kala tangannya tertarik ia menunduk melihat tangan Leo yang menarik ujung bajunya. membuat Kak Ginan mengurungkan dirinya untuk melihat Lea yang sudah berteriak dengan tangisan di sana

"Lea nangis, Bunda sama ayah lagi makan" Jelas Ginan membuat tangan Leo perlahan melepas.

Leo menatap punggung Kak Ginan, padahal baru saja ia tersadar kak Ginan sedang berada di kamarnya.

Ingin rasanya saat ini Kak Gilang dan Kak Ginan duduk di karpet bawah sana sembari bermain PS hadiah dari ayah, Leo tak peduli jika kamarnya akan berantakan karena ulah Kak Gilang. Ia tak peduli dengan bekas cemilan yang memenuhi tempat sampahnya karena ulah kedua kakaknya.

Leo menghembuskan nafasnya. memilih kembali memejamkan mata berharap rasa kantuk dengan cepat menghampirinya setidaknya ia tak harus membuat pikiran-pikiran seperti itu di otaknya lebih lama lagi.

_____

Jangan Lupa Vote And comment

-SalamManisDariPenulis

LEO ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang