"Aku seperti tumbuhan yang tumbuh tanpa matahari, layu dan gersang. Begitulah nyatanya yang hidup tanpa dampingan orang tua."
-Aiza Putri Jauharah-
***
Semenjak kepergian ayahnya satu jam yang lalu, Aiza duduk termenung di kursi belajar yang dekat dengan jendela. Jendela itu dibiarkan terbuka dengan angin sepoi-sepoi yang membuat korden dan khimar hitamnya tersapu ringan. Sangat menenangkan bagi Azia.
Tanpa diminta air mata yang ditahan-tahan untuk tidak keluar lagi tidak mengindahkan permintaan Aiza, lagi dan lagi membasahi seluruh wajahnya. Aiza masih saja kepikiran perkataan Hadyan yang bak biang lala, berputar-putar di kepala. Hadyan melarang untuk menyebut nama ibunya sendiri, lebih mementingkan istri dan anak barunya itu. Sedangkan Aiza dan Fattah harus menjalani hidup sendiri, sesekali mereka dijenguk oleh bibi dan pamannya.
Kejadian yang merenggut nyawa Husna karena kecelakaan antar kendaraan menjadi pukulan besar untuk Aiza, di usianya yang masih enam belas tahun ia sudah kehilangan sosok yang begitu berharga. Ditambah Hadyan yang menikah lagi dengan seorang janda beranak satu, mereka menikah setelah genap setahun kepergian Husna.
Sudah setahun juga Aiza biasa hidup tanpa ibu, di usianya yang kini menginjak tujuh belas tahun dan menduduki bangku sekolah menengah atas kelas 12.
Satu tahun yang lalu
Cuaca agak mendung sejak pagi tadi, matahari yang bersinar tertutup awan hitam sehingga langit menjadi mendung. Bendera kecil berwarna kuning dikibarkan di depan rumah, kursi tertata rapi dengan orang-orang yang duduk berbaris memenuhi kursi itu. Karangan bunga segar bertulis nama seseorang berjejer di halaman rumah, lantunan ayat suci Al-Qur'an terdengar yaitu surah Yasin. Pintu rumah terbuka lebar, sebagian orang menyusun berbagai bunga untuk dijahit satu per satu menyambut datangnya seseorang yang telah tiada.
Keadaan sekitar menjadi hening di kala suara sirine dari mobil jenazah menyeruak dengan keras. Di saat itu juga suara tangisan terdengar pecah melihat orang yang disayanginya berpulang ke Sang Mahakuasa. Orang-orang sekitar yang menyaksikan kejadian itu hanya menatap iba pada gadis yang merasa sangat terpukul.
"Ibu ... jangan pergi, Ibu bangun, jangan tinggalkan Aiza sendiri Bu," ucap Aiza lirih. Entah berapa kali gadis itu menangis, matanya yang indah sudah bengkak ditambah mata panda di sana. Tanda bahwa ia tidak tidur semalaman.
"Sudah ya Nak kita ikhlaskan Ibu," ujar Hadyan sambil mengelus punggung Aiza, hanya cara itu yang dapat menenangkan putrinya.
Melihat Aiza semakin menangis, Hadyan memeluk Aiza dari samping. "Ayah tahu ini berat buat kamu, tapi kamu nggak boleh gitu. Ibu pergi karena sudah waktunya."
"T ... tapi kenapa Ibu pergi secepat itu Yah? Ibu ninggalin Aiza sendirian padahal Aiza sangat membutuhkan Ibu!"
"Takdir Allah tidak bisa diubah Za, dan kamu nggak sendirian ada Ayah, ada Bang Fattah juga," kata Hadyan yang masih membujuk Aiza.
"Iya Aiza, Abang janji akan selalu nemenin kamu. Kita harus bisa mengikhlaskan kepergian Ibu," ucap Fattah menimpali. Ia mengusap air matanya yang sudah mengering.
Fattah beralih tempat duduk yang semula di samping Hadyan menjadi di samping Aiza. Fattah menggenggam tangan Aiza erat, ia berusaha membantu untuk menguatkan adik perempuannya. "Zaza harus kuat."
"Pernah dengar hadist ini. Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairoh radhiallahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasalam bersabda, "Dua hal yang ada pada manusia dan keduanya menyebabkan mereka kafir: mengingkari keturunan dan meratapi kematian."(HR. Muslim)."
KAMU SEDANG MEMBACA
Terangkai Semu (End)
Spiritual"Berikan senyuman terindahmu pada orang yang kamu sayangi, walau itu sangat menyakitkan." Begitulah pesan Husna, ibu Aiza sebelum beliau wafat. Hari-hari yang selalu diiringi canda tawa telah pupus sebelum masanya. Aiza selalu mengingat pesan itu...