13. Martabak Manis

18 3 0
                                    

Aiza baru merasakan yang namanya terlambat sekolah, ini adalah pengalaman pertama sejak ia bersekolah. Aiza yang dikenal siswi teladan datang terlambat, gelar itu seakan telah sirna begitu saja.

Sambil membawa surat kecil berisikan namanya yang tercantum sebagai siswi terlambat hari ini, Aiza memasuki ruang kelasnya yang nampak sepi. Pelajaran sudah dimulai seperti biasa, sekarang tinggal jam kedua yang sebentar lagi akan berakhir.

Tak lupa, Aiza masuk dengan mengetuk pintu sekaligus mengucapkan salam. Tatapan tidak menyenangkan langsung menghampirinya, bisikan kecil pun kian terdengar.

"Murid yang dikenal teladan baru datang!" sindir cowok yang tak lain adalah Akbar. Siapa lagi kalau bukan dia, dia yang selalu mengusik ketenangan Aiza. Dia juga yang membuat suasana kelas menjadi panas.

"Teladan apanya kalau terlambat!" seru Akbar. Kali ini kata-katanya yang pedas tak luput dari ucapannya.

"Huh! nggak pantes lo Aiza," ucap Endra ikut-ikutan.

"Enggak pantes banget sih." Jamil ikut bersuara.

Jamil menyikut Lingga yang terkesan tidak peduli akan hal itu. "Ngga lo ikutan dong."

Lingga hanya membalas dengan senyuman kecil. "Nggak!"

"Hahaha." Mereka bertiga tertawa kecuali Lingga. Mereka tertawa gembira menyaksikan Aiza yang masih di depan.

Dalam diam Aiza mencoba bersabar serta terus beristighfar di hatinya. Aiza pun tidak tahu kapan ocehan dari geng Akbar akan berakhir.

"Sudah. Kalian ini kok jadi ribut sih. Aiza sekarang kamu duduk, lanjutkan tulisan minggu lalu di buku paket ya," tegur Miya. Beliau guru bahasa Indonesia yang baik serta pengertian pada anak didiknya. Guru muda yang baru mengajar 1 tahun di SMA Lentera Sakti.

"Baik Bu. Ini suratnya." Aiza memberikannya pada Miya.

"Iya Aiza."

Aiza duduk di bangkunya kemudian mengeluarkan beberapa buku dan alat tulis. Ia harus kembali menyelesaikan catatannya kalau tidak ia akan ketinggalan. Itu penting untuk menghadapi ujian ke depannya.

"Za, kamu terlambat kenapa?" tanya Khalisa penasaran. Baru saja Aiza duduk, langsung dihadapkan oleh pertanyaan-pertanyaan dari sahabatnya yang super kepo.

"Bang Fattah nggak nganterin kamu?"

"Bentar Khalis aku mau mencatat dulu. Entar aku ceritain," balas Aiza.

Khalisa memberi dua jempol sebagai jawaban. "Oke."

***

"Jadi kamu naik sepeda sendiri?" Khalisa menghela napas panjang. "Kenapa nggak sama aku saja Za, aku naik motor sendiri tadi pagi."

"Takut merepotkan," ucap Aiza jujur.

Khalisa memegang bahu Aiza. "Aiza, kamu kan tahu aku siapa."

"Khalisa?"

Khalisa menggeleng, bukan itu yang dimaksud. "Bukan itu. Aku sahabatmu, kalau butuh apa-apa kabari aku. InsyaAllah aku bantu kamu, dengan senang hati."

"Oke deh Khalis, lain kali."

"Harus ingat ya, kabari aku!" perintah Khalisa.

"Aiza, bisa bicara sebentar," panggil Maira yang tiba-tiba datang dari arah koridor. Maira datang sendiri, ia sengaja. Karena ada hal penting yang harus dibicarakan.

"Loh Kak Maira, ke sini ada apa?" tanya Aiza bingung.

"Ada perlu," jawab Maira.

"Iya Kak?"

Terangkai Semu (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang