"Mungkin jika aku pergi rasa sakitnya bisa hilang. Nggak ada yang bikin sakit hati, nggak ada yang bikin kecewa lagi. Mereka saja tidak peduli apalagi semesta."
-Maira Zuhrah-
***
Fattah mengulangi kata-katanya. "Jadi maksud Ibu, Maira tadi ke sini?"
"Iya, Tah. Memangnya Maira nggak pamit sama kamu?" tanya Wina kembali.
"Nggak, Bu. Fattah khawatir Maira kenapa-napa. Makanya aku ke sini, Maira pasti mengunjugi Ibu dan ternyata benar."
"Iya, setiap jadwal besuk Ibu Maira selalu datang." Wina terharu, Maira tidak berubah. Anaknya masih ingat dan sayang padanya. "Tapi, Maira sempat pamit ke Ibu mau ke kampus."
"Loh bukannya Maira izin, Bu. Aiza kan menikah, dia bilang sendiri kalau sudah izin."
Wina tertunduk lesu dengan sorot mata berkaca-kaca. Wina ingin datang sekaligus menyaksikan pernikahan anaknya, ia ingin sekali. Walau sudah dapat permintaan maaf dari Aiza, Wina merasa kurang, hatinya sesak seperti ada yang mengganjal.
"Andai saja Ibu nggak berbuat itu, Ibu nggak berada di sini sekarang. Ibu dapat melihat putri Ibu menikah, pasti Aiza sangat cantik, persis seperti Husna dulu."
Pengakuan yang membuat Fattah terenyuh. Tidak tega rasanya. Namun, hukum tetap hukum, Fattah tidak bisa berbuat lebih.
"Bu, cukup, ya? Ibu jangan menyalahkan diri Ibu terus. Mungkin Ibu tidak bisa melihat pernikahan Aiza secara langsung, tetapi Ibu dapat melihatnya melalui foto." Fattah menyerahkan benda pipih itu pada Wina.
"Aiza sangat cantik, seperti yang Ibu duga. Meski Ibu rindu ingin bertemu Aiza, rindu Ibu hilang setelah melihat foto ini. Aiza sangat serasi dengan Altair."
Wina mengembalikan handphone milik Fattah. Rasa rindu Wina terobati, kini ia tidak perlu khawatir karena Aiza sudah bahagia. Tinggal Maira yang belum menikah, Wina tidak memaksakan pilihan Maira, ia tidak mau kejadian gagalnya pertunangan Maira terjadi lagi. Biar Maira yang memilih sendiri sesuai hatinya.
"Ibu titip salam buat Aiza, ya. Terus kamu susul Maira."
"Baik, Bu. Memang rencananya Fattah mau ke sana jemput Maira."
Fattah menyalami tangan Wina. "Fattah berangkat, assalamu'alaikum. Ibu baik-baik di sini."
"Wa'alaikumussalam, iya, Nak."
***
Manusia tidak pernah puas dengan apa yang dimiliki. Oleh karena itu, cara terbaik adalah bersyukur. Di antara banyak orang bukan kamu saja yang merasa kekurangan, merasakan pahitnya hidup, atau tidak adil dengan jalan yang diberikan. Sepertinya Maira lupa kata itu, dia berlarut-larut memikirkan masalah yang tengah menimpa.
Di rooftop gedung kampus, tempat yang Maira kunjungi akhir-akhir ini. Angin kencang berhembus menerpa wajah Maira yang basah karena terkena air matanya sendiri. Tenang dan kesepian. Jauh dari orang-orang yang membenci tanpa tahu kebenarannya. Maira termenung, duduk dengan tatapan kosong.
"Kenapa aku tidak bisa seperti dia! Dia kekurangan, tapi orang di sekitarnya memenuhinya!"
"Aku gagal bertunangan, aku gagal menikah. Sedangkan Aiza, dia dicintai oleh orang tulus seperti Kak Altair. Aku merebut Sidqi dari dia, seharusnya aku senang karena dia tidak menjadi Istrinya. Tapi, Sidqi terus menolak keberadaanku. Jahat sekali."
"Ibu, aku sudah memaafkan Ibu, aku sama sekali tidak membencimu. Aku senang bisa lahir dari rahim seorang wanita yang kuat. Ibu memang salah, itu juga yang mengajarkanku untuk berbuat hal yang sama. Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, itu maksud Ibu? Sejujurnya aku sangat berterima kasih pada Ayah. Ayah baik sekali padaku dan juga Ibu, aku Anak tirinya tidak kekurangan kasih sayang sedikitpun. Lalu mengapa orang yang baik dan sayang padaku pergi? bahkan aku saja belum membahagiakannya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Terangkai Semu (End)
Spiritual"Berikan senyuman terindahmu pada orang yang kamu sayangi, walau itu sangat menyakitkan." Begitulah pesan Husna, ibu Aiza sebelum beliau wafat. Hari-hari yang selalu diiringi canda tawa telah pupus sebelum masanya. Aiza selalu mengingat pesan itu...