"Berbuat banyak hal yang tak semestinya mendapatkan balasan. Jangan tanya seberapa sakit diriku, ini sakit. Namun, rasa itu hilang di kala terbentang sajadah dengan tangan kembali berdoa."
-Aiza Putri Jauharah-
***
Aiza membelai lembut bulu Rici. Mendapat perlakuan sayang dari sang majikan, Rici mendengkur dengan suara keras. Aiza tersenyum dibuatnya, kini kucing itu sudah mandi dan wangi.
"Sekarang kamu tambah cantik cing. Eh ralat! ganteng maksudnya. Ternyata kamu kalau mandi bulunya bagus juga," ucap Aiza.
"Mainannya kucing mulu, nggak ada kerjaan lain Za?" tanya Fattah. Fattah tak sengaja lewat depan kamar Aiza untuk mengambil minum di dapur.
Aiza melirik Fattah sinis. Fattah suka sekali mengusik ketenangannya. "Enggak ada!"
"Oh. Terserah sih, tapi Abang saranin, jangan bicara sendiri takutnya kebablasan," pesan Fattah dengan nada menyindir.
"Kebablasan? Maaf ya Bang aku tidak seperti itu, itu relatif bagi yang punya kucing. Abang mana punya?" balas Aiza dengan nada yang sama.
"Kagak minat!"
"Awas saja kalau Aiza lihat Bang Fattah main sama Rici!" peringat Aiza.
"Iya-iya."
"Tapi nggak janji," lanjut Fattah dalam hati. Gengsi Fattah terlalu tinggi, jadi begitulah.
Fattah kembali melangkah menuju dapur, meninggalkan Aiza yang sedang asik bermain dengan kucing. Sebenarnya di lubuk hati paling dalam, Fattah juga menginginkan menyentuh bulu halus itu. Pikiran Fattah kembali teringat, ia menggeleng, kotoran di selimut yang menjijikan baginya. Kaki jenjang Fattah terhenti saat ponselnya berdering. Awalnya Fattah tidak menghiraukan, ia masih setia meneguk air dingin di tangan. Telepon itu semakin bising menganggu pendengaran, Fattah merogoh saku celana dan mengambil ponsel miliknya.
Ia tahu siapa yang menelponnya sore hampir menjelang waktu Magrib begini. Nama pria paruh baya yang terpampang di layar adalah sang ayah. Hadyan menelpon Fattah, pasti ada sesuatu yang diinginkan. Fattah sudah menduga itu, apakah dirinya diminta untuk mengantar Maira kembali? Atau sekedar menanyakan kabar? Fattah rasa tidak mungkin bertanya soal kabar dirinya dan Aiza. Karena itu jarang terjadi, bahkan tidak pernah.
"Assalamu'alaikum Nak. Maira ... di rumah sakit, kamu cepat ke sini," perintah Hadyan secara langsung. Dari nada bicaranya ia sangat panik, suaranya yang juga bergetar.
"Wa'alaikumussalam, innalilahi. Kenapa Maira sampai di bawa ke rumah sakit Yah? Dia kenapa?" tanya Fattah. Sebagai saudara meskipun tidak ada ikatan darah, Fattah tetaplah kakaknya. Fattah ikut cemas mendengar berita itu.
"Nanti Ayah cerita saat kamu tiba di sini. Rumah sakitnya ada di jalan yang dekat rumah Ayah, mendiang Ibu kamu dirawat."
Fattah mengangguk paham dengan lokasi itu, Fattah hapal betul. Ibunya meninggal di sana, dan satu-satunya rumah sakit yang dekat rumah Hadyan.
"Iya Yah, Fattah ke sana sama Aiza.""Jangan bawa dia!" geram Hadyan.
"Kenapa Yah, bukannya Aiza juga berhak tahu?" tanya Fattah penasaran. Fattah menghela napas berat, di saat-saat keadaan seperti ini ia harus berdebat dengan Hadyan.
"Karena Aiza, Maira sampai kecelakaan," jawab Hadyan. Hadyan harus menjaga air matanya yang tidak boleh menetes sedikit pun, ia tidak mau Fattah tahu.
"Fattah pusing, aku tidak mau berdebat dengan Ayah. Aku tetap akan ke sana bersama Aiza." Fattah segera mengakhiri telepon itu. Kalau ia tidak mengambil tindakan seperti tadi, Hadyan akan terus menekannya dan menyalahkan Aiza.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terangkai Semu (End)
Spiritual"Berikan senyuman terindahmu pada orang yang kamu sayangi, walau itu sangat menyakitkan." Begitulah pesan Husna, ibu Aiza sebelum beliau wafat. Hari-hari yang selalu diiringi canda tawa telah pupus sebelum masanya. Aiza selalu mengingat pesan itu...