40. Permintaan Ayah

29 1 0
                                    

Semakin hari kondisi Hadyan semakin menurun, detak jantungnya kian melemah. Namun, sekarang lebih membaik, Hadyan telah melewati masa kritisnya.

Aiza, Maira, Fattah dan Aisyah selalu mendoakan kesembuhan ayahnya, mereka berharap Hadyan akan sembuh seperti sedia kala.

Hadyan bersandar di ranjang, ia lahap sekali menyantap sarapannya. Karena, Hadyan merasakan Aiza seperti dulu, kembali menyayanginya bukan lagi membenci. Suapan terakhir dari Aiza menjadi penutup selesai makannya, biarpun rasa buburnya tidak enak yang penting adalah kebersamaan dengan putri bungsu tercinta.

"Ayah minum obat dulu." Aiza memberikan obat serta air putih pada Hadyan.

"Terima kasih, Nak."

Aiza tersenyum tulus. "Iya, Yah."

"Wina, apakah dia ada dipenjara sekarang?" Sontak Aiza membulatkan mata.

"Ayah jangan memikirkan Ibu dulu, ya. Nanti Ayah sakit lagi, Aiza nggak mau itu terjadi lagi," ungkap Aiza. Aiza terlalu takut jika ayahnya kenapa-napa, Aiza lebih baik diam dan tidak menceritakan.

"Iya." Hadyan mencari keberadaan Fattah yang sedari tadi belum kelihatan sama sekali. "Fattah di mana. Ayah mau bicara sama dia."

"Bang Fattah sedang cari makan di kantin, Yah. Kalau Ayah ingin bertemu tunggu sebentar, biar Aiza panggilkan."

"Jangan lama-lama, Nak."

"Enggak kok, Yah. Ayah tunggu di sini, jangan ke mana-mana sampai Bang Fattah datang. Soalnya Aiza mau sarapan dulu, gantian sama Bang Fattah."

Tidak lama kemudian Fattah menemui Hadyan. Takut ada hal penting yang diinginkan Hadyan, Fattah buru-buru ke sana.

"Kata Aiza, Ayah mau bicara sama Fattah. Kenapa, Yah? Ada yang sakit lagi?" atau Fattah perlu ambilkan sesuatu?" tanya Fattah beruntun.

Hadyan terkekeh pelan, Fattah terlalu lebay, padahal ia baik-baik saja. "Ayah nggak sakit, Ayah nggak mau apa-apa. Yang Ayah inginkan, Ayah ingin bertemu seseorang. Kamu bisa ajak Altair datang ke sini?"

"Al?" Fattah mengerutkan keningnya, ada apa dengan Altair sampai ayahnya ingin bertemu dengan dia. "Altair orang yang sibuk, Yah. Tapi, Fattah akan membujuknya untuk Ayah."

"Terima kasih, Tah. Ayah ingin sekali bertemu dengannya, ada hal penting yang Ayah harus bicarakan sama dia."

"Sama-sama, Yah. Fattah mau bicara sama dia dulu. Ayah istirahat, ya."

Fattah menutup pintu agar Hadyan dapat istirahat. Sesuai permintaan ayahnya, Fattah menelepon Altair untuk datang ke rumah sakit.

"Al, lo bisa nggak datang ke rumah sakit. Ayah gue mau bicara sama lo."

Bukannya Altair tidak bisa, namun bagaimana jika ia bertemu Aiza. Altair berjanji pada dirinya untuk menjauh dari kehidupan Aiza, bahkan melupakannya. Jujur saja ia tidak siap bertemu Aiza, lukanya belum sembuh sampai sekarang. "Gimana ya, Tah. Pekerjaan gue masih banyak soalnya, nggak bisa ditinggal."

"Iya, gue paham itu penting banget buat lo. Tapi Ayah gue ingin sekali bertemu sama lo, mungkin dengan Ayah ketemu lo  kondisi Ayah segera membaik. Gimana, Al?"

Haruskah Altair menyampingkan sakit hatinya itu? berpura-pura tegar dan bersikap baik-baik saja?

"Lo takut ketemu Aiza? Gapapa kok, luka memang lama sembuhnya, tapi lo jangan bersembunyi di dalam rasa sakitnya. Itu bukan cara efektif untuk menyembuhkan luka tersebut, gue harap lo paham."

Fattah menyerah, ia gagal membujuk Altair. "Gue tutup dulu mau jagain Ayah. Kalau lo berubah pikiran datang saja, Ayah akan senang jika lo datang. Karena Ayah butuh lo."

Terangkai Semu (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang