44. Pilihan yang Tepat

36 2 2
                                    

Tiba di stasiun kereta api yang cukup terkenal di kota Surabaya. Sidqi melangkahkan kaki, ia ingin menempuh kembali pendidikan yang sempat tertunda. Pilihan yang tepat untuk dirinya, agar Sidqi bisa fokus menjalani hidup ke depannya, ia tidak mau terus-terusan terkurung dalam luka di kota itu. Gagal menikah dengan Aiza, Sidqi belajar banyak tentang kegagalan. Karena, gagal itu bukan kalah melainkan mengalah agar orang lain bisa bahagia. Tak peduli omongan tetangga terhadapnya, karena Sidqi lah yang menjalani bukan mereka yang hanya mampu berbicara.

Netranya menangkap sosok perempuan bergamis hitam berdiri di peron kereta sambil memainkan ponsel dan sesekali menengok kanan-kiri. Dia seperti sedang mencari seseorang.

Inisiatif Sidqi untuk menghampiri perempuan itu terlintas di benaknya. Setelah beradu di dalam pikiran, Sidqi memutuskan untuk menemuinya. Siapa tahu ia bisa menolong.

"Permisi, Mbak. Mungkin ada yang saya bisa bantu? Mbak kebingungan mencari apa?" tanya Sidqi.

Perempuan itu menoleh, dia segera menghapus air matanya. "Qi?"

"Laras." Perempuan itu adalah Laras, teman kuliahnya. Mengapa Laras ada di sini sendirian, dan dia menangis.

"Ras, kamu ngapain di sini?"

Laras diam saja. Sidqi tidak tahu ada masalah apa, sebaiknya ia tidak ikut campur, tetapi melihat Laras seperti ini Sidqi tidak tega membiarkannya.

"Ikut aku, kita duduk dulu," ajak Sidqi.

Laras mengangguk menuruti. Kini Laras bimbang dengan perasaannya, merelakan atau menunggu seseorang yang telah menyakiti hatinya demi memilih perempuan lain.

"Minum, Ras. Supaya kamu lebih tenang." Sidqi memberikan sebotol air mineral yang ia beli sebelum naik kereta.

"Terima kasih, Qi."

"Iya." Sidqi masih penasaran, kemudian ia berucap, "Ras, kamu belum menjawab pertanyaanku yang tadi. Cerita saja, nggak apa-apa. Dengan cerita kamu bisa  meredakan apa yang kamu rasakan."

Awalnya Laras ragu untuk menceritakan permasalahan yang terjadi kepadanya. Orang lain tidak punya hak untuk tahu serta ikut campur. Namun, Sidqi benar. Mungkin rasa sakitnya akan berkurang jika ia berbagi kisah.

"Aku dibohongi oleh tunanganku sendiri, Qi. Dia memilih perempuan lain karena dijodohkan Ibunya, aku tidak tahu mengapa mendadak begitu saja. Dia bilang, Ibunya tidak setuju dengan pernikahan ini." Laras menghela napas berat. "Rupanya dia selingkuh di belakangku, soal dijodohkan itu bohong."

"Aku memaafkannya, aku bodoh, ya? Memberinya kesempatan kedua tidak salah kan?"

Sidqi mengangguk. "Tidak salah jika dia benar-benar mau berubah. Tapi, dia sudah berbohong dua kali padamu, Ras. Berselingkuh dan dijodohkan. Belum menikah saja seperti itu, apalagi kalau sampai terjadi. Tinggalkan, karena kamu nggak pantas buat laki-laki seperti dia."

"Iya aku juga berpikir begitu. Entahlah pendirianku gugur kala dia berjanji akan menemuiku di stasiun, tapi sudah 3 hari dia tidak datang juga. Aku sudah menghubunginya terus-menerus, hasilnya tidak mendapat balasan. Pesan terakhir darinya, dia berkata bahwa pernikahannya dibatalkan, sudah tidak ada lagi ikatan pertunangan di antara kita. Dia memutuskan hubungan secara sepihak, tanpa peduli perasaanku. Aku terlalu mencintainya sampai berharap dia datang lalu meminta maaf, melanjutkan hubungan ini sampai ke pernikahan. Ternyata aku salah."

"Cerita kamu mengingatkanku pada Aiza. Sedikit mirip, Ras."

"Aiza kenapa? Maaf lancang, dia selingkuh?" tanya Laras penasaran. Karena, ia belum mengenal siapa itu Aiza. Yang Laras tahu, Sidqi akan menikah dengannya.

Terangkai Semu (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang