34. Masa Lalu Belum Usai

22 1 0
                                    

"Pasti kamu sibuk banget. Terima kasih ya Aiza, kamu menyempatkan waktu untuk jenguk Bunda," ucap Rima merasa direpotkan.

"Iya gapapa, Bun." Aiza tersenyum simpul. "Aiza juga ingin lihat keadaan, Bunda. Gimana keadaan Bunda, sudah mendingan?"

Rima memijit pelipisnya. "Sudah mendingan, tapi masih sedikit pusing. Maklumlah Bunda ini sangat cukup umur."

"Iya, Bun. Bunda harus istirahat yang cukup, jangan lupa diminum obatnya. Bunda juga ikuti saran dari dokter, Bunda kan punya asam lambung, jadi dijaga pola makanannya setiap hari. Nanti deh Aiza bawain makanan yang aman buat kesehatan Bunda," kata Aiza tulus. Aiza menganggap Rima seperti ibu kandungnya sendiri. Aiza cukup lama mengenal Rima, setelah dikenalkan oleh Altair waktu itu. Rima, sosok ibu yang Aiza inginkan selama ini. Namun, ayahnya sudah menikah dengan perempuan lain. Aiza tak menuntut, cukup mengenal Rima, ia bahagia.

Rima juga sama. Rima sangat menanti anak perempuan, dirinya menjadi begitu sayang pada Aiza.

"Terima kasih, Aiza. Kamu ini memang pengertian dan perhatian pada Bunda. Bunda nggak salah milih kamu."

Rima melirik Altair yang berdiri tak jauh darinya. "Aiza sangat cocok jadi menantu Bunda. Kapan kalian akan serius?"

Uhukk

Tersedak ludahnya sendiri, Aiza mencerna kembali ucapan Rima. Aiza tidak salah mendengar, Rima mengharapkan dirinya menjadi menantu. Aiza bingung harus bagaimana, jika Rima tahu ia telah menolak lamaran anaknya, apakah Rima akan membencinya? Hal itu yang ditakutkan Aiza.

"Aiza izin ambil minum dulu ya, Bun," pamit Aiza.

"Iya, Aiza."

Altair duduk di tepi ranjang, lalu mengambil tangan kanan Rima. Ia menggenggamnya. "Bun. Bunda nggak boleh ngomong gitu, jaga perasaan Aiza. Aiza mungkin belum siap."

"Iya, maafin Bunda. Bunda hanya bertanya pernyataan yang wajar, kalian sudah dekat dari lama, lebih baik disegerakan daripada menimbulkan fitnah apalagi zina. Al, kamu sudah mengatakan perasaanmu pada Aiza?"

"Belum, Bun," bohong Altair. Altair terpaksa, ia tidak mau kondisi Rima semakin menurun akibat memikirkannya.

"Ayolah katakan secepatnya, Al. Sebelum Aiza itu dilamar sama orang lain, nanti kamu menyesal. Selagi belum terlambat, Bunda yakin kamu bisa."

Altair pasrah, dia hanya mengangguk untuk meyakinkan Rima.

"Sudah terlambat, Bun. Dari dulu, Alta takkan punya tempat di hatinya."

"Iya, Bun. Tapi, Alta nggak janji ya kalau bakal diterima."

Rima merapal doa dengan kedua tangannya menadah ke atas. "Semoga Anak Bunda ini diterima, dan berjodoh dengan Aiza. Aamiin."

"Apa jangan-jangan Aiza belum bisa melupakan masa lalunya, seperti yang dulu kamu bilang, Al?" tebak Rima. Ia tahu cerita itu dari Altair sendiri, karena anaknya memang selalu terbuka dengannya.

"Urusan hati, Bun. Alta nggak tahu." Lagi-lagi Altair terpaksa menyembunyikan hal yang sebaiknya ia tidak menceritakan pada siapa pun termasuk bundanya sendiri. Tetapi, penolakan dari Aiza membuat Altair semakin yakin bahwa Aiza belum melupakan dia.

***

Hujan deras turun sore ini, menenangkan serta menyejukkan jalanan di ibu kota.
Lampu lalu lintas berwarna merah tanda berhenti sejenak, tepat berhenti di masjid yang penuh kenangan bagi Aiza. Aiza mengamati masjid An-Nur yang begitu megah sekarang, mungkin karena renovasi besar-besaran.

Meski masih banyak kendaraan yang berlalu lalang hujan tetap menyenangkan, Aiza bisa menghirup aroma tanah basah kala kaca mobil dibuka sebagian. Aiza dapat merasakan tiap tetes air yang turun langsung dari langit saat rintik hujan mengenai tangannya yang putih.

Terangkai Semu (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang