"Di antara banyak pasang mata di luar sana. Kamulah yang terindah, yang mampu menyalurkan ketenangan. Sayangnya, aku tidak ingin perasaan itu sebelum kamu menjadi milikku."
-Sidqi Rafiq Saputra-
***
Hari ini adalah hari terakhir Sidqi menginjakkan kaki di Surabaya, meski di sini sangat nyaman dan menyenangkan, tetapi ada hal yang harus diutamakan yakni pulang ke kota sendiri. Tanah kelahiran tetap yang istimewa, sejak kecil sampai ia dibesarkan dengan cinta oleh keluarga di sana. Mana mungkin Sidqi lupa. Satu lagi, tentang pujaan hati. Sidqi sampai detik ini mencintainya, bahkan cinta itu kian membesar. Tanpa kabar, tanpa mengirim pesan, atau saling berhubungan lewat telepon. Sungguh cinta ini sangatlah indah.
Kenangan yang masih jelas di memorinya seakan itu baru terjadi kemarin.
Bulir-bulir keringat membasahi seluruh wajahnya, jarak ke sekolah cukup jauh. Aiza sekuat tenaga untuk bisa sampai ke sekolah, walau banyak siswa-siswi lain yang memandangnya sebelah mata. Orang hanya bisa melihat keadaannya bukan kejadian yang sebenarnya, namun Aiza cuek akan hal itu. Ia tidak malu meski naik sepeda sendiri, yang penting kendaraan yang bisa membawanya menuntut ilmu. Alasan Aiza tidak memilih naik motor adalah trauma, karena ia takut dengan orang kecelakaan. Kecelakaan itulah yang merenggut nyawa ibunya.
Setengah jalan sudah Aiza lalui. Aiza sampai di perempatan yang sebentar lagi menuju sekolah. Sekolah pun terlihat dari jauh, Aiza hanya memandang berusaha untuk mengejar jalanan beraspal.
Sidqi sengaja mengikuti dari arah belakang menggunakan sepeda motor, takut Aiza kenapa-kenapa. Ia sudah melihat Aiza dari perempatan, tanpa pikir panjang Sidqi membuntutinya.
Dor!
Suara letusan ban sepeda terdengar nyaring. Ban belakang sepeda yang dinaiki Aiza meletus, entah karena apa. Aiza turun untuk memeriksa. Dan ternyata benar, ban itu rupanya tidak bergerigi lagi.
Aiza mendengus kesal. "Kamu nggak kompromi dulu denganku, ban!"
"Sekarang bagaimana, telat nggak ya. Semoga saja tidak, aamiin." Aiza mulai menuntun sepedanya dengan langkah cepat.
"Kasihan sih, tapi kalau aku nyamperin bisa ketahuan," ucap Sidqi bimbang.
"Ikuti dia dari belakang, Qi! Apa pun yang terjadi, mau terlambat juga tidak masalah, sekali-kali. Jadi nakal sehari, bosen juga dicap teladan mulu."
Setengah berlari menyusuri jalan. Aiza sudah ngos-ngosan dibuatnya, sambil berlari Aiza memerhatikan lingkungan sekitar namun tidak ada satu pun bengkel yang buka. Kakinya meminta untuk istirahat, sedangkan hatinya menolak.
Tinggal sedikit langkah lagi, gerbang beberapa detik lagi akan ditutup. Satpam yang berjaga sudah memegang kunci, dirasa sudah tidak ada lagi murid yang datang dan kebetulan sudah jam 07.00 tepat. Satpam berkumis tebal itu segera menarik, lalu mengunci gerbangnya.
"Jangan telat, jangan. Duh telat!" Aiza menepuk jidatnya, dia telat beberapa detik saja. Semoga masih bisa masuk.
"Pak tolong dong bukain, saya baru telat 10 detik." Aiza mencoba membujuk satpam untuk membuka gerbang untuknya. Ini cara satu-satunya agar ia tidak dihukum.
Anto yang lama bekerja sebagai satpam di SMA Lentera Sakti sudah hafal semua trik dari murid-murid yang terlambat, seperti yang Aiza lakukan. Dia adalah satpam yang tegas, jadi ia tidak mudah tergoyahkan.
Anto berujar, "Tidak bisa, kamu boleh masuk asalkan sebagai siswi terlambat. Di sana Pak Aji siap untuk menghukum."
Aiza melihat guru BK kelasnya, pak Aji sudah menunggu siswa-siswi terlambat. Dia juga membawa gunting di tangannya, Aiza meneguk salivanya dalam-dalam. Padahal cuma operasi rambut untuk anak laki-laki, tetapi tetap saja Aiza takut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terangkai Semu (End)
Spiritual"Berikan senyuman terindahmu pada orang yang kamu sayangi, walau itu sangat menyakitkan." Begitulah pesan Husna, ibu Aiza sebelum beliau wafat. Hari-hari yang selalu diiringi canda tawa telah pupus sebelum masanya. Aiza selalu mengingat pesan itu...