"Egois memang tidak dianjurkan, tapi bolehkah aku egois sekali saja. Agar orang yang aku sayangi tahu, aku lebih mementingkannya dari siapa pun."
-Aiza Putri Jauharah-
***
Aiza keluar dari rumah itu, ia ingin cepat-cepat pulang dan mengadukan semua isi hatinya. Aiza mengayuh sepedanya dengan kecepatan tinggi, setinggi rasa sakit hati yang ia terima. Ia tidak peduli dengan orang sekitar yang menatapnya heran karena ia menangis di jalanan.
Isi pikirannya kacau, ingatannya terus-menerus mengingat kejadian itu. Kejadian bagaimana ayahnya sudah tidak peduli dan ibu tirinya yang berani menamparnya. Aiza juga masih mengingat setiap ucapan yang dilontarkan Wina.
"Aku egois?" ucap Aiza tidak mengerti.
"Apakah aku egois!" ucapnya sambil terus mengelap air matanya.
Sebuah mobil berwarna hitam melaju kencang dari arah belakang. Aiza tidak mengetahui kendaraan itu sudah dekat dengannya, mobil itu terus mengeluarkan klakson untuk Aiza agar dirinya menepi. Aiza sepertinya tidak mendengarkan peringatan itu, mobil itu dengan terpaksa harus menyalip.
Aiza terkejut dengan mobil yang tiba-tiba muncul di belakangnya, sepeda yang dinaikinya oleng karena tubuhnya tidak siap untuk menyeimbangkan.
"Allahu Akbar!" teriak Aiza.
Bruk!
Alhasil Aiza jatuh dan mengenai sisi bagian belakang mobil. Mobil hitam yang dikendarai seorang pria kaya tidak peduli dengan kejadian itu, ia tetap melajukan kendaraannya. Dia pikir ini bukan salahnya. Sepeda itu jatuh bersama Aiza, ban sepeda itu melengkung tidak seperti semula yang lingkaran. Aiza meringis, tubuhnya tertindih kerangka sepeda.
Seorang saksi mata pengguna sepeda motor yang melihat kejadian itu tidak tinggal diam, dia menghampiri Aiza untuk menolong dan memastikan bahwa Aiza baik-baik saja.
Orang itu segera menghentikan laju motornya, kemudian membantu dengan mengangkat sepeda dari tubuh Aiza.
"Kamu tidak apa-apa Aiza?" tanya orang itu khawatir, rupanya orang itu sudah mengenal Aiza.
Aiza menoleh ke samping, ia sepertinya mengenal suara orang itu. "Kak ... Alta?"
"Aiza tidak apa-apa kok cuma lecet sedikit," balas Aiza sembari membersihkan tangannya yang kotor terkena tanah dan bercampur sedikit darah.
"Tapi itu berdarah loh. Mau pulang, ayo aku antar," ajak Altair.
"Iya Kak terima kasih, tapi aku bisa pulang sendiri," tolak Aiza. Ia tidak mau merepotkan orang lain, tidak baik juga jalan dengan yang bukan mahramnya.
"Aduh." Aiza mencoba berdiri namun baru setengah ia meringis sakit, kakinya terasa sangat nyeri. Mungkin keseleo akibat jatuh tadi.
"Jangan langsung berdiri Za, pasti kaki kamu kenapa-napa. Kita ke klinik saja," ucap Altair yang tidak menginginkan Aiza terjadi apa-apa. Tapi Altair bingung dengan keadaan ini, ia tidak bisa membawa Aiza dengan cara menyentuh dan memboncengkannya, karena jelas mereka bukan mahram dan Aiza pasti menolak keras.
Aiza menggeleng cepat. "Tidak perlu Kak." Ya pernyataan itu benar, Aiza langsung menolaknya.
Altair berpikir sebentar untuk mencari ide. Pikiran terlintas pada sahabatnya. "Kalau begitu, aku akan beritahu Fattah."
"Tapi Bang Fattah pasti khawatir dengan Aiza," kata Aiza.
"Tidak apa Aiza biar aku yang menjelaskannya, bentar aku telepon dia untuk ke sini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Terangkai Semu (End)
Spiritual"Berikan senyuman terindahmu pada orang yang kamu sayangi, walau itu sangat menyakitkan." Begitulah pesan Husna, ibu Aiza sebelum beliau wafat. Hari-hari yang selalu diiringi canda tawa telah pupus sebelum masanya. Aiza selalu mengingat pesan itu...