Tak terasa waktu sudah berjalan 4 tahun. 25 adalah umur yang matang untuk menikahi seseorang, orang itu, orang yang tepat. Buktinya, salat istikharah yang dilakukan Fattah mendapatkan petunjuk dari sang pencipta untuk segera menghalalkannya. Hatinya mantap, bahwa dia perempuan sederhana nan solehah yang kelak menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya.
Perjalanan keduanya cukup singkat, hanya saling mengenal beberapa bulan, Fattah langsung datang melamar. Restu dari mempelai wanita maupun pihaknya sangat setuju, itu juga yang menyakinkan Fattah.
Akad nikah diucapkan Fattah dalam satu napas tarikan. Fattah mengucap syukur berkali-kali, dirinya sempat menitikkan air mata saat mempelai wanita di dudukan berdampingan dengannya.
Asal engkau bahagia, aku pun bahagia. Aiza tidak bisa menghentikan tangis haru, di kala abangnya menikah, ia justru seperti mantan yang menangisi pengantin. Bagaimana tidak, ia harus merelakan abang satu-satunya membagi perhatian, tanggung jawab, dan sebagainya. Ditambah Aiza harus tinggal sendiri. Fattah dan istrinya akan pindah ke rumah baru mereka.
"Za, sudah dong nangisnya, nggak malu?"
"Ish." Aiza kesal, Fattah sama sekali tidak peka. "Malu, Bang. Tapi nggak tahu keluar sendiri."
"Hahaha. Abang tahu kok, kamu sedih banget kan bakal ditinggal Abang ganteng satu ini. Tapi tenang Adikku, Abang dan Mbak ipar kamu akan sering berkunjung."
"Pede sekali ganteng, Bang. Mbak Ais kok mau sih sama Bang Fattah?"
Aisyah tersenyum kecil. "Karena kita berjodoh, Za. Hati Mbak hanya tertuju pada Bang Fattah."
"Gitu ya, Mbak?"
"Makanya peka, Za. Biar kamu merasakan sendiri. Umur 22 bagi perempuan sudah siap untuk menikah," tutur Fattah. Fattah berkali-kali memberi kode agar Aiza lebih peka terhadap perasaan seseorang yang telah lama menunggunya.
"Aku sudah dewasa, Bang. Bang Fattah nggak bisa tuntut aku lagi." Jawaban yang sama setiap kali Fattah menyinggungnya. Fattah tak bisa berbuat banyak, karena Aiza benar. Aiza berhak memilih untuk diri sendiri mana yang terbaik.
"Dan siapa yang nggak peka, Aiza? Itu Abang kali!"
"Iya, oke. Terus mau nunggu siapa?"
"Fattah," panggil Hadyan yang datang menggunakan kursi roda bersama Wina dan juga Maira.
Hadyan dirawat di rumah sakit beberapa hari yang lalu, penyakit jantungnya kambuh. Hadyan mengidap penyakit ini telah lama. Namun, akhir-akhir ini penyakit itu kerap muncul.
Fattah menghampiri Hadyan, ia berjongkok untuk menyelaraskan posisinya. "Iya, Yah."
"Walaupun kamu sudah menikah, tapi kamu harus tetap menjaga Aiza, ya. Ayah titip Aiza sama kamu, seperti dulu. Saat Ayah meninggalkan rumah. Ayah percaya kamu Abang yang sangat baik bagi Adikmu." Hadyan berlinang air mata, tidak banyak, tapi bisa dilihat oleh Fattah.
"Ayah. Aku sudah memaafkan Ayah dari dulu, lagipula itu masa lalu, Yah. Aku dan Aiza tidak mempermasalahkan. Dan aku akan tetap menjaga Aiza, biarpun kita nggak tinggal serumah lagi, tapi Fattah dan Aisyah akan sering berkunjung," ucap Fattah tulus. Fattah memeluk Hadyan dari samping, ia melepaskannya. Fattah tahu, Hadyan sekarang lebih tenang.
Aiza ikut menyelaraskan tubuhnya di samping Fattah. Ia turut memeluk ayahnya. Pelukan seperti ini yang Aiza selalu rindukan. "Ayah nggak usah khawatir, Aiza baik-baik saja tinggal sendiri di rumah. Yang perlu Ayah khawatirkan saat ini adalah kesehatan Ayah, Ayah harus sembuh, ya. Jangan telat minum obat, istirahat yang cukup, serta jangan berpikiran yang macam-macam. Karena, Aiza baik-baik saja."
Hadyan mengangguk. "Iya, Nak."
Hubungan orang tua dan anak mulai terjalin harmonis. Dewasa, membuat Aiza maupun Fattah belajar banyak hal. Tentang orang tua, mereka tidak sepenuhnya menyalahkan orang tua. Terkadang ada hal yang diketahui maksud dari tindakan orang tua kepada anaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terangkai Semu (End)
Spiritual"Berikan senyuman terindahmu pada orang yang kamu sayangi, walau itu sangat menyakitkan." Begitulah pesan Husna, ibu Aiza sebelum beliau wafat. Hari-hari yang selalu diiringi canda tawa telah pupus sebelum masanya. Aiza selalu mengingat pesan itu...