Aiza tiba di rumahnya, ia mengetuk pintu, mengucapkan salam, melepas sepatunya lalu masuk ke dalam rumah. Suasana saat masuk ke dalam Aiza langsung disambut keheningan, sampai jam yang berdetak lirih pun serasa berbunyi keras. Inilah keadaannya saat ini, tinggal cuma berdua bersama kakak.
Aiza menghela napas menerima semua kenyataan itu. Bagaimanapun ini sudah jalan yang berikan oleh sang pencipta, jadi ia tidak boleh mengeluh. Mandiri adalah sifat yang harus ditanamkan sedari kecil, Aiza dapat hidup tanpa ibu sedangkan yang masih mempunyai ibu saja masih terus-terusan mengeluh dan tidak bersyukur.
Indra penciumannya tiba-tiba mencium bau masakan yang lezat, Aiza segera mendatangi meja makan. Terlihat ada seorang perempuan sedang memasak sesuatu dan di lain sisi laki-laki yang Aiza sebut sebagai paman sedang asik membaca koran.
"Paman," panggil Aiza. Dengan gerakan cepat Aiza langsung duduk di sebelah pamannya.
"Iya."
"Paman kapan datang ke sini, kok tidak memberitahu Aiza?" tanya Aiza.
"Jam sepuluh kayaknya. Paman bilangnya sama Fattah, tapi sekarang Fattah sudah pergi, ada urusan katanya," jawab paman Hendra.
"Oh iya, tadi pagi Bang Fattah juga bilang ke Aiza."
Mayang, bibi Aiza telah menyelesaikan masakan opor ayam buatannya. Dia membawa mangkok berukuran besar ke meja makan untuk dimakan siang ini.
"Loh? Bibi masak opor, bukannya ini bukan hari raya?" tanya Aiza dengan polos.
Mayang tersenyum tipis. "Memangnya harus hari raya Za, Bibi cuma iseng buat ini."
"Kalau cuma berempat bakalan habis Bi? Ini sih kebanyakan."
"Bukan buat kita saja. Bibi mau memberikan ini kepada Ayahmu," ucap Mayang lalu menyiapkan perlengkapan untuk makan.
"Kalau begitu biar Aiza saja yang ke sana." Aiza sangat bersemangat akan bertemu ayahnya, walaupun tadi pagi ada masalah tapi Aiza tidak mempermasalahkannya.
"Boleh Za, tapi kamu makan dulu," perintah Mayang.
"Iya Bi, setelah makan dan salat zuhur aku segera ke sana."
"Ayo cuci tangan dulu," perintah Mayang sekali lagi. Bibinya ini persis seperti ibunya, wanita yang lembut dan penyabar.
"Baiklah, Bi."
Aiza baru melangkah setengah, ia membalikkan badan. "Zahira tidak ke sini Bi, kemana dia?"
"Dia sedang les bersama temannya, katanya ada pelajaran sulit semenjak masuk SMA."
"Oh, rajin juga Zahira."
"Iya, gara-gara dia nggak keterima sekolah di SMA kamu," jelas Mayang yang mengetahui keadaan anaknya.
"Soal itu ya Bi," kata Aiza yang juga sedih. Ia telah sepakat dengan Zahira sepupunya, kalau Zahira keterima di sekolahnya Aiza ada teman untuk berangkat bersama. Menjadi lebih akrab dengan Zahira dan bercanda bersama, namun takdir berkata lain.
"Mayang mengangguk. "Iya, Za."
***
Rantang susun bercorak bunga sudah siap untuk dihantarkan. Aiza juga telah makan siang dan salat zuhur, ia memakai jilbab instan agar lebih simpel. Aiza akan pergi menemui ayah tercinta untuk memberikan opor enak buatan bibi Mayang.
Aiza berniat menaiki sepeda untuk kendaraan ke sana, lebih sehat dan santai. Bersantai dengan suasana sejuk, sangat menenangkan bagi Aiza. Dia segera mengayuh sepedanya dengan pelan.
Tak terasa, Aiza sudah sampai di pagar rumah milik ayahnya, lebih tepatnya milik ibu tirinya. Entah mengganggu atau tidak, niat baik Aiza adalah hanya untuk memberikan opor bukan mencari masalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terangkai Semu (End)
Spiritual"Berikan senyuman terindahmu pada orang yang kamu sayangi, walau itu sangat menyakitkan." Begitulah pesan Husna, ibu Aiza sebelum beliau wafat. Hari-hari yang selalu diiringi canda tawa telah pupus sebelum masanya. Aiza selalu mengingat pesan itu...