28. Pelaku Sebenarnya

18 2 0
                                    

Aiza keluar dari gerbang sekolah, ia mencari keberadaan Fattah. Namun, hasilnya nihil. Di mana abangnya sekarang? Biasanya selalu tepat waktu, atau Fattah yang menunggu lebih dulu. Mobil hitam yang sepertinya ia kenal berhenti tepat di depannya. Pengemudi mobil itu lantas keluar.

"Aiza, kamu bareng sama aku."

"Loh? Bang Fattah nggak jemput, Kak?"

Altair menggeleng. "Enggak."

Singkat, padat, jelas, dan sakit. Fattah tidak mau menjemput Aiza, dia masih marah terhadapnya. Terpaksa, Aiza menerima ajakan dari Altair.

"Iya, Kak."

Laju mobil yang dikendarai Altair ini memang lambat atau Aiza yang sudah merasa bosan? Keadaannya yang selalu canggung membuatnya tidak nyaman. Aiza juga tidak enak hati terus merepotkan Altair. Aiza melirik Altair yang tengah fokus, ia ingin menanyakan soal Fattah. Aiza menghembuskan napas untuk melawan gugupnya, Aiza sudah siap sekarang.

"Kak," panggil Aiza.

"Za," panggil Altair.

Aiza semakin gugup, bagaimana bisa kompak dalam berbicara. Altair yang mendengar itu langsung salah tingkah sendiri, ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Degup jantungnya berdetak cepat, Altair memegangi dadanya yang berdenyut. Berjaga supaya tidak lepas dari tempat asalnya.

"Kakak duluan." Aiza mempersilakan Altair untuk berbicara terlebih dahulu.

"Kamu duluan saja," tolak Altair.

"Kak, Kak Alta tahu soal Bang Fattah yang marah pada Aiza?" tanya Aiza.

"Tahu. Aku juga tahu permasalahannya," balas Altair. Altair tersenyum kecil, ia berucap, "Tapi, aku tidak percaya kamu melakukan itu, Aiza."

"Kalau Kak Alta saja tidak percaya, kenapa Bang Fattah percaya?"

"Karena, kamu spesial bagiku, Za. Sebanyak apa pun kamu menyakitiku, aku tidak peduli," batin Altair. Kata-kata itu hanya mampu Altair ucapkan dalam hati. Ini bukan waktu yang tepat untuk mengatakan perasaannya yang selama ini ia pendam.

"Karena, Fattah sayang banget sama kamu, Fattah ingin selalu menjaga kamu. Sebenarnya Fattah percaya, Za. Dia hanya kecewa, melihat kamu akrab dengan seseorang itu."

"Benarkah begitu, Kak? Jadi, aku salah?"

"Iya. Kamu harus minta maaf."

Aiza mengangguk, lalu tersenyum. "Baik, Kak. Terima kasih atas sarannya."

Melihat Aiza kembali tersenyum adalah hal luar biasa bagi Altair. Setidaknya ia berusaha untuk menjadi pendengar yang baik saat Aiza butuh.

"Hm. Tadi Kak Alta mau bilang apa, ada yang penting?"

Altair mengerutuki dirinya, dia lupa dengan pertanyaannya sendiri. "Lupakan saja tidak penting."

"Iya, Kak."

***

Berkutat dengan pikiran sendiri itu memang membingungkan. Aiza ragu untuk keluar dari mobil, ia takut jika Hadyan datang ke rumah. Kemarahan ayahnya tidak bisa Aiza bayangkan, ia pun terlalu takut membayangkannya.

"Kenapa, Aiza?" tanya Altair.

"Tidak, Kak. Aiza pamit dulu, assalamu'alaikum. Terima kasih sekali lagi, Kak."

"Iya, wa'alaikumussalam." Altair menatap setiap pijakan kaki dari gadis itu, dia menunggu sampai Aiza masuk terlebih dahulu. Altair ingin memastikan, Aiza aman di kediamannya.

Hadyan telah menunggunya di teras rumah sambil duduk di kursi kayu. Apa yang selama ini ditakutkan Aiza terpampang jelas di depannya, sekarang Aiza harus bagaimana? Dan apakah ayahnya tahu tentang itu? Jika benar, pasti Maira yang memberitahukan.

Terangkai Semu (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang