37. Pamit

30 1 0
                                    

"Mengikhlaskanmu adalah suatu kebahagiaan sekaligus luka bagiku."

-Altair Dzul Ravardhan-

***

Kini Aiza hanya dapat menyaksikan laki-laki itu terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Aiza sempat menyalahkan dirinya sendiri atas kejadian yang menimpa Sidqi, akan tetapi Sarah mencoba untuk menyakinkan Aiza bahwa kejadiannya murni kecelakaan. Kedua orang tua Sidqi sama sekali tidak marah, ia tahu Aiza adalah gadis yang jujur. Pantas saja anaknya enggan untuk melepaskan perempuan solehah satu ini.

Sarah masih memeluk tubuh Aiza. "Hapus air mata kamu sayang, ini bukan salah kamu. Kalau Sidqi lihat kamu nangis dia pasti tidak suka."

"Iya, Nak. Kamu nggak salah, Sidqi pasti baik-baik saja."

"Justru Abi dan Ummi yang salah. Kita hampir memisahkan kalian berdua, karena kita mengira dia mencintai Maira," lanjutnya.

Aiza mendengarkan penuturan keduanya, sambil mengusap air matanya ia berujar, "Gapapa, Bi, Mi. Aiza sekarang tahu alasannya."

"Kamu pulang dulu ya, Aiza? Biar Ummi dan Abi yang di sini. Tubuh kamu pasti sudah lelah, jadi istirahat, ya," ucap Sarah.

Calon mertuanya ini sangat perhatian, semoga terwujud menjadi mertua bukan calon lagi. "Baik, Mi."

Betul yang dikatakan Sarah, Aiza perlu istirahat. Tubuhnya semakin lemah karena ia belum makan siang ditambah ia berlarian untuk mengindari kejaran Sidqi.

"Kalau begitu Aiza pulang dulu. Assalamu'alaikum, Ummi, Abi," pamit Aiza.

"Wa'alaikumussalam," jawabnya kompak.

"Hati-hati, Nak." Aiza mengangguk kecil sebagai jawaban.

***

Aiza langsung disambut Fattah setelah dirinya membuka pintu utama. Perasaan Aiza mendadak tidak enak, wajah sang kakak menandakan dia sedang marah.

Semua ini bukan salahnya, mereka yang seharusnya disalahkan. Mengapa tidak ada yang memberitahu padahal ia bagian dari keluarga.

"Baru pulang? Habis ngapain keluyuran sementara di rumah sedang berduka atas batalnya lamaran ini. Bukan hanya Maira, Ayah dan Ibu Wina yang malu, tapi semua keluarga, Aiza!"

Bola mata Aiza memanas, tangannya mengepal kuat. "Bang, tolong mengerti perasaan Aiza! Aiza di sini merasa dibohongi kalian semua, kenapa semuanya menutupi perjodohan ini. Dan kenapa tidak ada 1 orang pun yang memberitahu!"

"Oh jadi benar. Kamu belum bisa melupakan dia, Za?"

"Memangnya kenapa Bang kalau Aiza belum melupakannya. Abang marah? silakan!"

"Bang Fattah dari dulu begitu. Sidqi salah apa sih Bang? dari SMA Abang nggak pernah suka sama Sidqi. Tapi, dengan Kak Maira Abang nggak larang dia buat menjauh dari Sidqi. Bang Fattah lama-lama mirip Ayah, membedakan aku sama Kak Maira dan aku sebagai Adik harus mengalah bahkan menerima!" ungkap Aiza kecewa. Sekarang yang Aiza rasakan, Fattah berada di pihak ayahnya.

"Jangan samakan Abang dengan Ayah, itu beda, Aiza. Abang dari dulu mau yang terbaik untuk kamu, Abang cuma sayang sama kamu. Maira memilih Sidqi Abang biarkan, karena apa? Karena Ayah dan Ibu Wina telah menjodohkan mereka, Abang nggak berani menentang keputusan Ayah. Abang yakin kamu pasti bahagia tanpa Sidqi, tolong sekali saja kamu menerima dia."

Fattah berusaha menyakinkan Aiza, dia tak mau Aiza larut dalam kesedihan gara-gara seorang lelaki bernama Sidqi.

"Aiza capek, Bang. Bisa nggak Abang jangan bahas dulu, kasih Aiza waktu untuk berpikir."

Terangkai Semu (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang