15. Makhluk Berbulu

12 3 0
                                    

Waktu pulang, adalah waktu yang disukai Aiza. Selain lebih santai tidak dikejar waktu seperti waktu berangkat, waktu pulanglah yang dapat Aiza rasakan ketika angin berhembus mengenai wajahnya yang putih bersih.

Aiza menutup kelopak matanya membiarkan dirinya menikmati udara yang sejuk. Kerudung putih yang ia kenakan dibiarkan tersapu lembut oleh atmosfer bumi. Perlahan, rasa lelah setelah bersekolah hilang seketika. Aiza juga senang, Fattah yang sekarang ini berada di depan mengantarnya kembali.

Entah dari mana, tiba-tiba saja rasa kantuk menghampiri tanpa permisi. Aiza menutup mulutnya yang sedari tadi terus menguap. Sudut matanya pun ikut berair.

Helm yang dipakai Aiza sesekali mengenai punggung Fattah, membuat Fattah merasakan benturan helm itu.

"Maaf ya Bang," ucap Aiza. Aiza mengucek matanya yang agak sedikit merah, ia berusaha untuk tetap terjaga.

"Gapapa Za, Abang tahu kamu ngantuk," kata Fattah memaklumi.

"Hehe iya. Aiza gampang ngantuk kalau naik motor."

"Oke sebentar lagi kita sampai rumah. Kamu boleh mandi, salat, habis itu tidur," jelas Fattah.

Aiza menggeleng. Ia tidak bisa jika harus tidur cepat, sebab bila berkendara saja dia akan merasa ngantuk. "Pas sampai rumah malahan Aiza nggak ngantuk Bang."

"Kok bisa?" Fattah mengerutkan keningnya tak paham, ini adiknya yang aneh atau memang ada orang seperti itu?

"Nggak tahu, hukum alam mungkin."

"Hukum alam? Apa?"

"Merasa ngantuk bila naik motor, tapi pas sampai di tujuan orang itu nggak ngantuk lagi. Sama seperti Aiza," terang Aiza pada Fattah.

"Aneh namanya!" cibir Fattah. Ia tidak tahu kalau ada kejadian seperti yang dijelaskan Aiza.

"Terserah Bang Fattah deh. Aiza ngikut."

***

Kakak-beradik yang sedang berjalan beriringan memasuki pekarangan. Adu mulut yang sedang terjadi menjadi teman jalan mereka. Soal game main teka-teki di perjalanan menuju pulang tadi, belum juga selesai sampai sekarang.

"Bang Fattah curang!" omel Aiza. Aiza tidak bisa membiarkan Fattah menang begitu saja. Pasalnya Fattah memberi teka-teki itu yang tidak ada jawabannya.

"Curang apa, kamunya aja yang kurang trik," sindir Fattah.

"Ih nyebelin!"

"Bodo. Abang capek mau istirahat, akibat nganterin kamu yang beratnya sama kayak gajah." Fattah menirukan cara berjalan hewan yang bertubuh gempal dengan sengaja.

"Jadi Abang nggak ikhlas? Kalau begitu besok aku berangkat sendiri," putus Aiza. Ini tidak bisa dibiarkan. Aiza, gadis bertubuh kecil ini disamakan dengan gajah.

Fattah mendengus kesal. Aiza tidak akan mengalah dengannya sampai kapan pun. "Ngambeknya kumat. Iya Abang ngaku kalah."

"Gitu dong dari tadi kek!" Senyum Aiza kembali mengembang.

Langkah keduanya terhenti setelah mengetahui ada seseorang yang duduk di teras rumah. Orang itu duduk membelakangi tiang pancang, rupanya sedang sibuk dengan ponsel di genggaman. Karena penasaran Aiza dan Fattah sepakat untuk menghampirinya. Fattah mengangguk pada Aiza, seolah memberi instruksi untuk mendekati target. Aiza pun mengerti dengan pesan tersirat itu.

Dengan pelan, keduanya menginjakkan sepatu mereka. Agar tidak ada suara yang terdengar.

"Satu .... "

"Dua .... "

Dan ini angka yang terakhir. "Tiga!" ucap Aiza dan Fattah bersamaan.

"Astaghfirullah ada apa ini?" tanya orang itu heran.

Terangkai Semu (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang