Pemuda yang duduk di sisi ranjangnya sedang dilanda gundah gulana oleh penuturan ayahnya sendiri. Tentang dirinya dan juga adiknya, ia tahu maksud perkataan itu. Adiknya mungkin akan disalahkan terus-menerus, sedangkan ia saja tidak mau itu terjadi. Yang namanya kakak apalagi laki-laki seharusnya bisa mendampingi sekaligus menjadi benteng untuk adik perempuannya.
Fattah menimang-nimang, kemudian ia mulai mengetik beberapa huruf untuk memberitahu seseorang. Seseorang yang bisa diandalkan, seseorang kepercayaan, dan seseorang yang tentunya sangat peduli pada ia maupun Aiza.
M. Fattah Azraqi :
Assalamu'alaikum Al, gue perlu bantuan lo. Kali ini mungkin dia akan kecewa dengan sikap Ayah, gue berharap lo bisa datang. Ini alamatnya RS xxxxxx.
Wa'alaikumussalam. Bisa lo tenang saja.
Senyum Fattah mengembang, sahabat terbaiknya ini selalu membantunya. Entahlah, Fattah lega jika Altair di dekat Aiza. Karena Fattah tidak selalu bisa mencairkan hati gadis itu, sebab Aiza butuh sosok yang membuatnya tenang. Jika ini memang jawaban, Fattah pasti akan mendukungnya dengan hati yang bergembira.
Kesempatan tidak datang 2 kali. Inilah waktu yang tepat untuk bisa mengenal perempuan itu lebih jauh. Dengan membuatnya nyaman berada di sampingnya. Altair segera bergegas pergi ke tempat yang ditujukan Fattah padanya. Sampai-sampai wanita paruh baya yang sedang memakan buah segar tidak ia pedulikan.
Wanita itu menggelengkan kepala, anaknya itu seakan lupa dengan keberadaannya kini.
"Al, mau ke mana?"
Altair berdiri di ambang pintu, kemudian menoleh. "Itu Bun. Alta mau pergi sebentar, ada urusan."
"Sama siapa?" tanya Rima untuk memastikan.
"Dari rumah sendiri, tapi sudah janjian sama teman kuliah."
Rima manggut-manggut dengan ucapan putranya. "Pulangnya jangan kemalaman Al."
"Iya Bun." Altair melupakan satu hal. Ia juga sadar bahwa Rima bertanya padanya. Yah, Altair lupa berpamitan dengan sang bunda tercinta.
Altair kembali melangkah ke dalam rumah, ia mencium tangan kanan Rima dengan sopan. "Alta pamit ya Bun."
"Hati-hati," pesan Rima. Yang langsung dibalas senyuman hangat dari Altair.
***
"Al, lo sudah sampai?" tanya seseorang dalam sambungan telepon.
"Sudah. Gue di parkiran sebentar lagi ke sana, lo di mana?" tanyanya kembali.
"Mushola rumah sakit. Aiza juga ada di sana tapi gue nggak bareng sama dia."
"Oke. Gue ke sana sekarang Tah."
"Baik Al."
Sambungan dari telepon itu terputus secara sepihak. Fattah bernapas lega, ia mempercayakan itu semua pada Altair. Fattah kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku, lalu melangkah pelan untuk mencari udara segar.
Fattah memperhatikan lampu-lampu yang bercahaya terang di sana, cowok itu tidak memperhatikan jalan yang dilaluinya. Tubuhnya menabrak seorang pria yang tingginya hampir sama dengannya. Namun, Fattah lebih tinggi di atasnya. Orang itu menyadari keberadaan Fattah, dengan cepat dia menghapus jejak air mata di pipi.
"Ayah?" panggil Fattah.
"Aku tahu Ayah menangis, mengapa Ayah sangat mementingkannya? Ternyata benar, jika orang telah dibutakan oleh sesuatu yang membahagiakan, akan lupa tempat asalnya," lanjut Fattah dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terangkai Semu (End)
Spiritual"Berikan senyuman terindahmu pada orang yang kamu sayangi, walau itu sangat menyakitkan." Begitulah pesan Husna, ibu Aiza sebelum beliau wafat. Hari-hari yang selalu diiringi canda tawa telah pupus sebelum masanya. Aiza selalu mengingat pesan itu...