20. Permintaan Maaf

13 2 0
                                    

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Alhamdulillah part 20 update.

Baca bismillah sebelum membaca!






***

Bel pulang berbunyi nyaring, semua mata pelajaran telah selesai. Aiza bersama Khalisa keluar dari kelas, begitu pun dengan anak-anak yang lain. Aiza melirik Khalisa yang sedari tadi memegangi perutnya. Benar sekali, perut perempuan itu minta diisi.

"Keroncongan banget ya, Khalis perutnya?" tanya Aiza.

Khalisa mengangguk. "Iya nih Za. Suka begitu kalau sudah sore."

"Aiza juga sih," kata Aiza merasakan apa yang Khalisa rasakan.

"Kita jajan yuk," ajak Khalisa dengan semangatnya. "Aku lihat, ada pedagang siomay yang mangkal di tempat biasa."

"Tapi, kayaknya nggak bisa deh. Takutnya Bang Fattah nunggu di depan," tolak Aiza. Lagi pula Aiza harus berhemat, ia tidak boleh sembarangan menghabiskan uangnya. Jatah uang yang diberikan Hadyan tinggal sedikit, Aiza harus membiasakan menghemat diri.

Khalisa mendadak lesu. "Oke Za ... kapan-kapan ya."

"InsyaAllah."

Akbar datang mengejutkan keduanya. Cowok itu baru saja keluar kelas, lalu segera menghampiri Aiza yang berjalan di koridor. Terbesit sebuah ingatan pemukulan itu, Aiza waswas akan kejadian yang ia takutkan terjadi lagi.

Apa yang Akbar ingin katakan? Akbar gugup dari biasanya. Akbar dengan gaya sombong serta bad boy, sekarang lumayan berkurang. Baju dimasukkan, rambut tertata, dan tingkah laku yang sedikit diperbaiki. Akbar kembali seperti dulu, jika itu benar. Aiza berharap, tidak ada permusuhan diantaranya lagi.

"Ada apa Bar, jangan bilang kamu ke sini mau ganggu Aiza lagi? tanya Khalisa curiga. Khalisa curiga bahwa Akbar akan berulah, menyakiti sahabatnya.

Akbar menggeleng cepat, bukan itu yang ia maksud. Khalisa pantas untuk curiga. Karena, dirinya telah terbuat sejahat itu pada Aiza. "Nggak Lis."

"Gue mau bicara empat mata sama Aiza, boleh?" lanjut Akbar. Wajah Akbar sangat serius, ia memang ingin mengatakan sesuatu.

"Jangan Za. Kamu bisa diapa-apain sama cowok itu," bisik Khalisa. Khalisa menggandeng lengan Aiza untuk tidak pergi.

"Tenang Khalis. Mungkin Akbar benar, ada sesuatu yang ingin disampaikan," ucap Aiza.

Khalisa mengalah. Aiza memang sulit untuk diperingatkan. "Kalau begitu, aku pamit saja ya. Sudah sore."

"Loh buru-buru Khalis?"

"Iya Za, duluan. Kalau ada apa-apa jangan lupa cerita," tutur Khalisa.

"Bar, masih aku pantau!" Khalisa melotot melihat Akbar yang menggaruk kepalanya padahal tidak gatal. Khalisa rupanya sangat posesif pada Aiza, karena biar bagaimanapun Aiza itu harus dilindungi.

Khalisa tersenyum sekilas, lalu beranjak pergi meninggalkan Aiza dan Akbar. Mereka berdua saling diam satu sama lain, tidak ada pembicaraan sejauh ini.

Akbar berdehem pelan, mencoba membuka pembicaraan. "Maaf, Za."

Raut wajah Akbar penuh penyesalan. Mungkin dosa pada gadis itu telah banyak Akbar lakukan, tidak seharusnya ia berbuat itu. Sampai harus memusuhi Aiza yang bahkan tidak pernah Aiza lakukan.

"Iya Bar. Aku sudah memaafkanmu." Senyumnya merekah seperti bunga kertas di pot, di samping Aiza.

Akbar melihat senyum tulus yang terbit di bibir Aiza. Sudut bibirnya memar akibat perlakuannya. Akbar sadar, ini bukan salah Lingga, tapi ini salah dirinya. Jika Akbar tidak berbuat sebodoh itu, pasti Aiza tidak akan terluka.

Terangkai Semu (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang