25. Untuk Ayah

19 2 0
                                    

Hadyan memutuskan untuk tidak menginap malam ini. Aiza yang tidak mau berbicara saat di meja makan, membuatnya semakin tidak ingin berada lama di rumah. Rumah peninggalannya dan almarhumah Husna, biarkanlah rumah ini menjadi warisan untuk Aiza dan juga Fattah.

"Hati-hati, Yah. Jaga kesehatan Ayah," pesan Fattah.

Hadyan tersenyum hangat. Ia memeluk Fattah sejenak, Hadyan senang putranya ini memerhatikan kondisinya. "Iya, Nak."

"Aiza, Ayah pamit dulu," kata Hadyan pada Aiza.

Aiza yang diam, tiba-tiba bergerak memeluk Hadyan. Hati Hadyan menghangat melihat pergerakan Aiza. Aiza memang sedang kesal dengan ayahnya, tapi Aiza tidak bisa menyembunyikan rasa rindu pada ayahnya yang sebentar lagi pergi. "Ayah, baik-baik di sana."

Hadyan mengangguk. "Kamu juga ya."

"Kalau ada apa-apa kabari, Ayah," perintah Hadyan. Hadyan melirik Fattah. "Terutama kamu, Tah."

"Siap, Yah," ucap Fattah. Karena, Fattah yang tertua di banding adik-adiknya, maka Fattah harus bertanggung jawab untuk menjaga jika menyangkut salah satunya.

"Assalamu'alaikum." Hadyan melangkah keluar, kemudian membuka pintu.

"Wa'alaikumussalam," jawab Aiza dan Fattah bersamaan.

Suasana menjadi hening. Jam dinding yang berdetak lirih, seolah membunyikan suaranya yang kencang. Aiza melirik Fattah, sehingga mereka saling beradu pandang.

"Ada apa?" tanya Fattah.

Aiza menggeleng. "Nggak. Cuma mau bilang, sepi ya, Bang."

"Iya, Za. Kita cuma tinggal berdua, sekarang juga Ayah sudah pergi."

"Jadi, Abang menuduh Aiza. Ayah pergi karena aku?" tanya Aiza curiga. Pasalnya perdebatan itu terjadi antara Aiza dan Hadyan.

"Apa sih? Jangan bicara sembarangan, lebih baik kita belanja. Stok di dapur sudah mulai habis," balas Fattah.

"Itu Bang Fattah yang ngabisin. Abang makannya banyak, sana belanja sendiri," papar Aiza. Aiza berbicara sesuai fakta.

"Memangnya kamu nggak makan, kamu juga kali. Ayo, biar Abang anter," ajak Fattah.

Aiza mengangguk pasrah. Yang namanya kebutuhan, apalagi makanan memang cepat habis. "Tapi, Aiza mau es krim.  Abang yang bayarin ya?"

"Iya nanti beli juga untuk Abang, biasanya juga gitu. Ada maunya!"

"Cepetan ganti baju." Fattah melihat Aiza yang sumringah setelah mendapat persetujuan es krim gratis, Aiza tersenyum puas.

"Siap, Tuan!" Aiza memberi hormat pada Fattah, selayaknya prajurit yang diperintah untuk melaksanakan tugas.

***

Duduk di pangkuan ibu itu sangat menenangkan. Nyaman sekali rasanya, penat akibat kegiatan dunia telah sirna sebab sudah berpulang ke rumah yang tepat. Ummi—Sarah, nama yang begitu dimuliakan bagi Sidqi.

"Nggak mau Ummi. Aku laki-laki loh, masa disuruh belanja?" tanya Sidqi heran. Bukannya Sidqi tidak mau, hanya saja dia malu pergi belanja sendirian.

"Apa bedanya laki-laki dan perempuan Qi, sama saja kan? Masih mending di minimarket Qi, kamu mau ke pasar?" tanya Sarah.

"Kalau itu aku nggak mau sama sekali. Malu, Ummi," jawab Sidqi.

"Dulu pas kamu masih kecil, Abi dengan senang hati membelikan keperluan rumah. Jadi kamu tetap nggak mau nih? Mau dibilangan Abi?"

Sidqi segera bangkit dari kegiatan bermanja-manja dengan Sarah. Nyali Sidqi ciut, jika Sarah sudah membawa nama Abinya. "Mau. Iqi berangkat sekarang juga."

Terangkai Semu (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang