Epilog

54 1 0
                                    

"Langkah masih panjang, masa depan belum tentu cerah seperti yang diinginkan. Upaya memperbaiki diri terus dilakukan agar masa lalu tidak kembali terulang."

-Terangkai Semu-

***

"Aiza, kamu tunggu di sini atau mau ikut? Aku mau ke toilet sebentar."

"Kak Alta sendiri saja, Aiza tunggu di sini. Jangan lama-lama," peringat Aiza. Dirinya merasa sepi jika ditinggal sendirian. Alasan ia tidak mau ikut karena tengah menikmati es krim cokelat kesukaannya. Altair mengajak Aiza jalan-jalan sore mumpung hari libur, kesempatan bagi mereka berdua untuk mengakrabkan diri serta mengenal lebih jauh lagi.

Senyum Altair mengembang. "Oke, janji nggak akan lama."

"Ini buat, Ayah. Ayah suka?" tanya anak perempuan yang memakai baju merah sambil memberikan topi kepada ayahnya. Anak kecil itu tidak jauh dari tempat duduk Aiza, jelas Aiza bisa mendengarnya.

"Buat Ayah?" Sang Ayah menerima pemberian anaknya. Lantas, segera memakainya di kepala.

"Iya, tadi beli di sana. Kata Bunda aku ke sini dulu, nanti Bunda nyusul."

"Terima kasih. Ayah sangat suka." Pria itu mencium pipi anaknya, lalu
membawanya untuk duduk di pangkuan.

Perlahan air mata Aiza menetes tanpa disadari. Aiza ingat Ayah, ia mengingatkan semuanya. Kenangan bersama Hadyan berputar di kepala jadi satu, kenangan manis yang Aiza sangat rindukan.

"Ini untuk, Ayah." Aiza memberikan lampu tidur dengan bentuk planet Saturnus.

"Sebagai ungkapan bahwa aku sayang Ayah selama-lamanya!" lanjut anak kecil yang mempunyai gigi ompong itu.

"Wah terima kasih putri kecil Ayah. Dapat dari mana? Ayah boleh tahu?" Hadyan mengerutkan keningnya, hatinya bertanya-tanya.

"Rahasia dong."

"Anak Ayah main rahasia nih ceritanya. Rahasia apa, ya?" ledek Hadyan agar Aiza dapat mengaku.

"Aiza beli pakai uang tabungan Aiza. Sudah banyak, Ayah." Aiza menutup mulutnya keceplosan sendiri. Aiza sulit untuk tidak berbicara jujur.

Hadyan tersenyum, benar dugaannya. Karena, mana mungkin anak kecil punya uang, kecuali punya tabungan. "Lebih baik uangnya ditabung, ya. Beli untuk keperluan Aiza saja."

"Kenapa? Kata Ibu nggak apa-apa sekali-kali." Raut wajah Aiza berubah cemberut. Ia berpikir ayahnya akan suka, tetapi sebaiknya.

Aiza pintar merayu Hadyan, dengan kepolosan dan otak cerdasnya membuat Hadyan susah menjelaskan. Hadyan pasrah, ia tidak lagi berbicara seolah menyingung Aiza. Seharusnya Hadyan bersyukur mempunyai anak yang pengertian. Hadyan yang merasa bersalah segera membawa Aiza ke pangkuannya, ia mencium pipi kanan Aiza.

"Iya. Sekali lagi terima kasih, ya. Anak Ayah memang hebat."

"Kenapa bentuknya planet Saturnus? Aiza suka planet ini?"

Aiza mengangguk. "Suka tapi nggak banyak, Aiza lebih suka planet Bumi. Kenapa Aiza beli, karena planetnya cantik beda dari yang lain. Seperti Ayah yang beda dari Ayah di luar sana. Oh iya, Ayah tahu nggak kata penjualnya planet Saturnus itu sedih, dia sedih sebab iri sama Bumi. Dia bilang percuma cantik ada cincinnya tapi nggak bisa ditinggali, berbeda dengan Bumi yang punya banyak keindahan di dalamnya."

"Ada-ada saja penjualnya." Hadyan sedikit tertawa. Penjualnya pasti sangat ramah pada anak kecil, sehingga membuat cerita seperti itu.

"Beneran, Yah. Nggak bohong."

Aiza serius menanggapi cerita itu, wajahnya begitu menggemaskan saat ia mencoba menyakinkan Hadyan.

"Ayah percaya, putri kecil."

"Aiza, Za. Kamu kenapa sayang? ada apa?" tanya Altair panik. Pasalnya Aiza menangis, tatapannya kosong, serta es krim yang mencair di tangan.

"Lagi-lagi aku mengingat Ayah, Kak."

"Aku mengingatnya setelah melihat Anak perempuan itu, persis sekali seperti aku dan Ayah dulu," tunjuk Aiza pada orang yang dimaksud.

Altair melihatnya, ia tahu betul hubungan keduanya. Aiza pasti teringat kenangan bersama sang Ayah. "Gapapa. Kamu sudah ikhlas, tapi harus lebih ikhlas, ya."

Altair mengambil sapu tangan yang Aiza berikan selepas menikah, sapu tangan yang dulu ia berikan. Aiza masih menyimpannya, sampai kembali ke pemiliknya, Altair sangat lega. Dengan telaten Altair membersihkan lelehan es krim yang telah mencair di tangan Aiza, bahkan lelehan itu terkena gamis yang Aiza pakai.

"Terima kasih, Kak. Aiza merepotkan, ya?"

"Nggak. Sudah kewajiban aku, Aiza."

Altair memeluk erat tubuh kecil Aiza dari samping, Aiza pun membalas pelukannya. Menyalurkan kehangatan untuk istrinya, agar lebih tenang. Aiza butuh sandaran untuk mengobati luka di hatinya. Aiza telah menemukan orangnya, dia bernama Altair Dzul Ravardhan.

Terangkai Semu (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang