Tanpa pikir panjang Hadyan segera bergegas untuk menemui Aiza, ia harus memastikan sendiri keadaannya. Hadyan mengambil kunci mobil di laci meja kamar, lalu keluar dari kamar untuk menuruni tangga. Sang istri Wina menghentikan langkahnya, Wina penasaran mengapa Hadyan sangat waswas.
"Mau ke mana Mas?" tanya Wina.
"Ke rumah lama." Hadyan menghela napas, lalu berujar, "Aiza kecelakaan, aku harus datang ke sana untuk mengetahui kondisinya."
Wina kaget mendengar hal itu, apakah ini ada sangkut pautnya dengannya. Pasalnya gara-gara Wina menampar dan memarahi Aiza, Aiza menjadi kepikiran dan tidak fokus sehingga menyebabkan kecelakaan itu.
"Kalau begitu aku ikut," ucap Wina.
"Baiklah, ayo kita ke mobil," ajak Hadyan. Dia menggandeng tangan Wina untuk mempercepat langkah.
***
Jarak rumahnya dengan rumah Aiza tidak begitu jauh, jadi Hadyan dan Wina sampai lebih cepat karena mereka menggunakan mobil. Hadyan kembali menginjakkan kakinya di rumah lama, rumah yang penuh kenangan bersama istri pertamanya.
Hadyan membuang jauh memori itu, lagi pula kisah itu sudah berakhir. Yang namanya rumah tetap rumah tidak ada yang harus dikenang, mestinya yang dikenang itu ada di dalam hati dan jiwa.
Sekarang ia hidup dan menemukan kebahagiaan baru, bersama Wina dan Maira. Tidak usah diingat kenangannya dengan Husna dan dua anaknya, kenangan itu ada di hati yang sangat dalam. Sangking dalamnya sampai tenggelam di bawah jurang keretakan.
Wina membuyarkan lamunan Hadyan, wanita itu mengelus punggung Hadyan yang sedari tadi merenung. "Mas ayo kita masuk."
"Iya," ucap Hadyan membalas senyuman Wina.
Kedatangan Hadyan dan Wina langsung disambut baik lagi hangat oleh Mayang dan Hendra. Kakak-beradik itu baru bisa bertemu setelah sekian lama, sejak kepindahan Hadyan ke rumah baru. Mayang dan Hendra menyalami keduanya begitu pula sebaliknya. Temu kangen rupanya.
Mayang beralih menatap Wina, tatapan dingin itu menjadi kebiasaannya saat bertemu. Sama seperti Aiza, Mayang masih belum menerima sosok Wina dan menurutnya belum pantas menggantikan Husna. Ada yang mengganjal di hati tentang perempuan ini, membuat Mayang tidak tenang jika keluarganya dekat dengan Wina. Entah, atas dasar apa Hadyan menikahnya. Cinta?
"Eh Mayang jarang loh kita ketemu, kamu sehat-sehat saja kan?" tanya Wina.
"Alhamdulillah sehat Mbak, kalau Mbak sendiri?"
Wina terkekeh kecil. "Haha, sudah pasti sehat. Kami bertiga sehat alhamdulillah."
"Hehe iya Mbak," ucap Mayang memutar bola matanya malas.
"Sekarang Aiza di kamar?" tanya Hadyan pada Mayang dan Hendra.
Mayang dan Hendra kompak mengangguk. "Iya."
"Ayo Bang, Mbak silakan masuk," perintah Mayang pada pasutri itu.
"Iya May," ucap Hadyan menanggapi.
Hadyan dan Wina segera menjenguk Aiza ke kamar pribadi milik Aiza, sementara Mayang dan suaminya tidak ikut menemani. Biar Hadyan saja yang datang menemui sendiri, mereka tidak mau mengganggu Aiza karena sedang tidur. Dan Mayang tidak mau mengganggu hubungan antara anak dan ayah yang bertemu.
Di ambang pintu kamar Aiza, Hadyan berdiri di tempat. Jantungnya berpacu cepat menyaksikan Aiza yang nampak lelah terbaring di kasur. Dengan segala tekad, Hadyan perlahan menghampiri Aiza disusul Wina dari belakang.
Hadyan mengusap kepala Aiza dengan lembut, kemudian dengan hati-hati ia mencium kening Aiza sangat lama. Hadyan ingin menyalurkan kekuatan untuk Aiza menjadi gadis yang kuat. Hadyan beralih menggenggam tangan kecil Aiza, gadis itu tertidur pulas jadi Aiza tidak dapat merasakan keberadaan seseorang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terangkai Semu (End)
Spiritual"Berikan senyuman terindahmu pada orang yang kamu sayangi, walau itu sangat menyakitkan." Begitulah pesan Husna, ibu Aiza sebelum beliau wafat. Hari-hari yang selalu diiringi canda tawa telah pupus sebelum masanya. Aiza selalu mengingat pesan itu...