3. Tentangnya

43 9 0
                                    


Selamat membaca, baca bismillah dulu, vote dan komen jangan lupa!


***

Sama halnya dengan Aiza, orang itu pun terkejut. Darbuka yang dipegang pemuda berbaju koko putih dengan kombinasi warna biru dan hitam tersebut jatuh menggelinding ke arah Aiza. Aiza menatap darbuka itu seksama, ada nama yang tertulis di sana tapi tidak terbaca dengan jelas. Aiza berpikir pasti itu darbuka kesayangannya.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya laki-laki yang bertubuh jangkung itu.

"Ti ... tidak apa-apa." Aiza mencoba menetralkan degup jantungnya yang berdetak kencang. Ia masih kaget karena darbuka itu jatuh karenanya.

"Alhamdulillah. Maaf ya aku benar-benar tidak sengaja mengagetkanmu," ucap cowok itu tulus. Anehnya dia tidak marah, dia mengerti cara memahami perempuan.

"Eh? enggak kok gapapa. Justru aku yang minta maaf gara-gara aku darbuka kamu jatuh," ucap Aiza benar-benar merasa bersalah.

Aiza mengambil darbuka itu kemudian memberikannya. "Maaf."

Tatapan mereka bertemu, keadaan sekitar menjadi hening dan canggung. Aiza menggeleng lalu menundukkan pandangannya untuk memutus zina mata itu. Aiza juga mundur beberapa langkah dari hadapan cowok itu untuk menjaga jarak.

"Tidak apa-apa, tidak sengaja," ucap pemuda itu.

"Tetap saja aku merasa bersalah. Aku akan bertanggung jawab dengan cara mengganti darbuka itu," kata Aiza yakin. Bagaimanapun Aiza yang salah, ia tidak memperhatikan jalan.

"Terima kasih. tapi tidak usah diganti ya, lagian cuma lecet saja."

Aiza tetap pada pendiriannya, pasalnya darbuka itu jatuh lumayan keras. "Aku tetap akan menggantinya."

"Jangan, lebih baik uangnya kamu simpan untuk hal yang lebih penting," tolaknya.

Aiza menjadi semakin bingung dengan perilaku cowok ini. Dia terus saja menolak tanggung jawabnya, Aiza harus berbuat apa? Ia memang tidak tahu menahu soal alat musik itu, tapi tetap saja bila darbuka itu rusak bagaimana. Itu sama saja lari dari tanggung jawab.

"Tak usah dipikirkan, aku ikhlas," ucapnya tersenyum tulus.

"Eh tunggu, ada niat apa kamu datang ke toilet khusus akhwat?" tanya Aiza tiba-tiba. Ia memberanikan diri dengan bertanya untuk  memastikan bahwa orang ini tidak akan berbuat jahat.

"Itu—" Cowok itu menghela napas, pasti gadis ini akan berpikir yang tidak-tidak padanya padahal ia cuma numpang kamar mandi.

"Jangan-jangan mau ngintip ya!" sindir Aiza. Aiza tidak habis pikir dengan cowok zaman sekarang. Penampilannya saja yang terlihat baik tapi sifatnya belum tentu.

"Ngintip apa? aku cuma mau cuci tangan, di toilet khusus ikhwan kerannya mati," jelasnya pada Aiza.

Aiza dibuat malu dengan jawaban cowok itu, dia telah menuduh dan berpikiran yang tidak-tidak. Kalau kata anak zaman sekarang, malu nggak, malu nggak, malu nggak, malulah masa enggak!
Aiza tidak tahu harus berbuat apa, ia sudah menabraknya dan sekarang menuduhnya. Sungguh memalukan.

"Oh gitu. Maaf telah menuduhmu, aku kira ada niatan jahat karena tidak seperti biasanya seorang ikhwan datang ke sini."

"Gapapa, ini cuma salah paham."

Aiza mengangguk menyetujui. "Terima kasih dan maaf sekali lagi, kalau gitu aku pamit. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam." Lagi dan lagi orang itu gampang sekali tersenyum. Aiza benar-benar tidak tahan dengan situasi itu, ia merasa berdebar jika dekat dengannya.

Terangkai Semu (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang