Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Awali dengan bismillah sebelum membaca 😉
Selamat membaca guys!
***
Azan berkumandang yang terdengar jelas dari pengeras suara, memecah keheningan di sekitar bangunan sekolah. Aiza, Khalisa, dan Intan telah selesai berwudu. Mereka bertiga masih di teras musala, menunggu para jamaah khususnya kaum Adam untuk masuk terlebih dahulu. Supaya tidak ada yang namanya bersenggolan sesama lawan jenis.
Aiza menangkap jelas dengan penglihatannya, seseorang yang berpeci serta menggunakan sarung itu memasuki area musala, lebih tepatnya di dalam musala. Dia sendirian, dia juga lebih mempercepat langkahnya. Apa yang dipikirkannya, Aiza langsung menundukkan pandangan. Menjaga pandangan dari lawan jenis hal yang perlu diperhatikan.
"Kita masuk yuk," ajak Intan. Ajakan itu langsung dibalas anggukan kepala oleh Aiza dan Khalisa.
Sidqi menempati saf paling depan sesudah imam. Orang yang tadi melafalkan azan ikut berdiri di samping Sidqi. Mereka sedikit berbincang, lalu kembali fokus pada imam yang akan memulai salat.
"MasyaAllah idaman," bisik Khalisa. Khalisa berada di tengah, jadi suaranya masih terdengar Aiza dan Intan. Meski ada tirai penghalang untuk perempuan dan laki-laki. Namun, masih terlihat dari belakang.
"Mereka memang idaman Lis, tapi bisa nggak sih diam dulu. Mau salat loh ini," tegur Intan.
Aiza menggelengkan kepala. "Kita mau salat, Khalis. Jangan zina pikiran, mata, dan hati! Fokus sama yang akan dikerjakan, Allah tahu kamu sedang memikirkan apa."
Khalisa mengelus dadanya. "Astaghfirullah, maafkan hamba ya Allah. Aku janji nggak akan mengulangi lagi."
"Allahu Akbar." Imam itu segera memimpin salat berjamaah. Aiza kembali memfokuskan diri agar lebih khusyuk melaksanakannya.
Salat Zuhur sudah terlaksana. Aiza dan kedua sahabatnya masih melipat mukena yang baru saja dipakai. Aiza melipat mukena putihnya menjadi lipatan kecil, agar lebih mudah membawanya. Ia sudah selesai, Aiza memutuskan untuk memakai sepatu terlebih dahulu. Menyisakan Khalisa dan Intan, mereka berdua sibuk berbincang sambil menyelesaikan mukenanya yang belum juga kelar.
Masih mengamati sepatu-sepatu yang berjejer hampir semua mirip, Aiza terlihat kebingungan. Ada banyak sekali yang mirip dengan sepatunya, ia harus teliti agar menemukan keberadaan sepatu itu.
"Ini bukan ya?" Aiza mengambil dua pasang sepatu, lalu mengamati sebentar. "Jelas bukan, yang ini talinya ada putihnya." Aiza kembali meletakkan sepatu itu. Karena, sepatu milik Aiza berwarna hitam semua.
"Sedang cari apa?"
"Cari sepatulah. Dikira cari cilok ke sini!" geram Aiza. Sudah tahu ini musala, tempat untuk beribadah. Dan Aiza sudah melaksanakannya, tinggal mencari alas kaki yang ia lepas sebelum masuk. Aiza belum mengetahui siapa yang bertanya, ia tidak menoleh sama sekali. Tidak peduli juga, dia siapa, yang jelas murid SMA di sini. Cilok, Aiza menginginkan makanan itu. Dia refleks mengatakannya, karena ia belum makan siang.
"Za, Aiza woy!" teriak Khalisa. Khalisa hanya ingin memberitahu gadis itu. Namun, Aiza tidak menghiraukan panggilannya.
"Bentar Khalis ini loh nggak ketemu sepatunya," ucap Aiza. Aiza sibuk meneliti sepatu, tidak bisa diganggu untuk sementara waktu.
"Iya Za. Tapi, bisa nggak kamu jangan injak sepatuku," ujar Sidqi yang ternyata berada di belakangnya sekarang.
"Loh?" Aiza beristighfar dalam hati, ia mengenal suara itu. Sangat mengenal, suara merdu yang selalu terlintas di pikirannya akhir-akhir ini. Mampus! Aiza sama sekali tidak menyadari akan kakinya yang menginjak salah satu sepatu, apalagi sepatu milik dia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terangkai Semu (End)
Spiritual"Berikan senyuman terindahmu pada orang yang kamu sayangi, walau itu sangat menyakitkan." Begitulah pesan Husna, ibu Aiza sebelum beliau wafat. Hari-hari yang selalu diiringi canda tawa telah pupus sebelum masanya. Aiza selalu mengingat pesan itu...