"Tentang jarak dan hak. Memisahkan kita di titik pertemuan di ujung perpisahan. Meski terus memaksa untuk selalu ada, haknya menjadi penentu. Semua ini tentang jarak dan hak. Jarakku denganmu terlalu jauh, sedangkan hakmu memintaku untuk menjauh."
-Altair Dzul Ravardhan-
***
Pagi ini cuaca cerah berawan. Aiza kembali mengecek buku-buku pelajaran dalam tas ranselnya, Aiza tidak mau jika ada sesuatu yang tertinggal. Aiza sudah mengecek beberapa kali, ia sudah mantap bahwa tidak ada yang ketinggalan. Aiza menutup resleting tasnya, kemudian menggendongnya di pundak.
Hari ini Aiza tetap diantar Fattah. Karena, Maira belum sembuh sepenuhnya untuk kembali bersekolah. Aiza lega serta bersyukur, hari ini ia masih ada tumpangan, tapi besok? Hanya Allah yang tahu.
Aiza tidak punya kesempatan untuk selalu diantar Fattah. Kali ini dirinya akan ikhlas, dia tidak mau Maira kenapa-napa sebab dirinya. Aiza harus bersemangat, meskipun ini berat ia pasti akan sanggup menghadapi. Teman terbaik adalah diri sendiri, Aiza mengerti itu.
Fattah menyenderkan punggungnya di sofa. Ia dan Aiza berada di ruang tamu sekarang. Fattah pun sudah siap untuk berangkat kuliah, lalu setelah itu mengantar Aiza seperti biasa.
"Sudah selesai semua? Nggak ada yang ketinggalan?" tanya Fattah.
Aiza mengangguk mantap. "Enggak ada Bang."
"Baguslah, ayo kita berangkat." Fattah berdiri dari tempat duduknya, menoleh ke arah Aiza. "Pintu belakang sudah dikunci kan?"
"Iya Bang Fattah. Aiza nggak lupa kok," ucap Aiza.
"Pintu tengah? Yang di dapur?" tanya Fattah beruntun.
Aiza memutar bola matanya malas. Fattah akan terus menanyakan macam-macam tentang rumah yang akan ditinggal. Sebenarnya memang penting sebelum ditinggalkan, tetapi Aiza kesal jika Fattah berulang kali menanyakan hal yang sama. "Sudah semua ya Bang, bahkan aku juga sudah kasih makan sama minum buat Rici. Dia sekarang tidur sih."
"Cuma memastikan Za, takutnya kamu ceroboh!"
"Assalamu'alaikum," ujar seseorang dari pintu depan. Kedatangan orang itu mengejutkan Aiza dan Fattah. Pasalnya siapakah orang yang sengaja datang pagi-pagi begini.
"Wa'alaikumussalam," balas Aiza dan Fattah serempak.
Aiza melirik Fattah bingung. "Siapa Bang?"
"Enggak tahu, coba Abang cek," ujar Fattah melangkah keluar untuk membuka pintu. Disusul Aiza yang mengikutinya dari belakang.
Orang itu masih setia menunggu sang pemilik rumah keluar untuk membuka pintu. Senyumnya mengembang sejak tadi, berharap ia akan bersama gadis itu.
"Al?" kata Fattah. Fattah sedikit heran dengan Altair, cowok itu sengaja datang pagi-pagi ke rumahnya padahal belum sama sekali janjian.
"Loh Kak Alta, ngapain ke sini?" tanya Aiza.
Bukannya menjawab pertanyaan Aiza, Altair malah menatap Fattah penuh harap. "Tah, boleh gue jemput Aiza?"
"Silakan. Asal janji, jaga Aiza sampai dia selamat sampai tujuan." Fattah sudah menduganya, Altair sengaja datang untuk Aiza. Bukan menemui dirinya.
Altair tersenyum sekilas. "Kalau itu sudah jelas. Lo tenang saja."
"Aiza mau bicara sama Abang!" Aiza menarik kemeja yang dipakai Fattah, membawanya menjauh dari Altair. Altair yang melihatnya hanya tertawa kecil melihat kelakukan kakak-beradik yang menurutnya lucu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terangkai Semu (End)
Spiritual"Berikan senyuman terindahmu pada orang yang kamu sayangi, walau itu sangat menyakitkan." Begitulah pesan Husna, ibu Aiza sebelum beliau wafat. Hari-hari yang selalu diiringi canda tawa telah pupus sebelum masanya. Aiza selalu mengingat pesan itu...