Barang-barang di meja kamarnya sangat berantakan karena ulahnya sendiri. Wanita itu terus berbicara tidak jelas seperti orang kesurupan. Penampilan yang tadinya rapi, cantik, dan anggun kini tak beraturan.
"Dulu Ibunya sekarang Anaknya! Arghh aku sungguh membencinya!"
"Aku sempat kasihan kepadanya, kenapa aku bodoh sekali. Dia merebut kebahagiaan putriku, sama seperti Ibunya yang merebut kebahagiaanku. Seorang pengganggu dibiarkan pun tetap saja mengganggu, dia harus lenyap secepatnya. Tenang saja, kamu pasti menyusul Ibumu." Senyum licik terbit di bibir Wina.
Antara kebahagiaan atau kesedihan yang harus diterima Wina saat sahabat satu-satunya sebentar lagi akan menikah. Ia tidak ingin pernikahan itu terjadi, mengapa harus ia yang menanggung beban berat. Seharusnya hari ini adalah momen bahagia, karena ia dan Husna telah menyelesaikan kuliahnya. Tetapi justru sebaliknya, momen ini adalah momen terburuk yang tidak pernah Wina lupakan seumur hidup.
Wina memegang undang pernikahan dengan gemetar. Kedua tangannya mengepal kuat, sebenarnya Wina muak dengan pernikahan Husna. Namun, pernikahan itu tetap akan terjadi karena Wina tidak bisa berbuat banyak selain pura-pura merestuinya. Mencintai Hadyan diam-diam itu salah, Wina tahu. Semua bukan kemauannya, melainkan rasa kagum tiba-tiba yang menyakinkan hatinya untuk mencintai laki-laki tunangan sahabatnya.
Andai saja Hadyan tidak bertemu Husna, mungkin saja dialah calon mempelai wanita yang akan menjadi istri. Penyebab utama pernikahan ini juga atas salah Wina, Wina yang memperkenalkan Husna dengan Hadyan. Wina juga yang menyesal, rumit.
"Kenapa, Win?" tanya Husna.
"Enggak apa-apa." Wina memaksakan untuk tersenyum.
"Habisnya wajah kamu serius banget. Aku takut kamu kenapa-napa."
"Nggak, kok. Cuma sedikit kaget, tiba-tiba sahabatku mau nikah. Aku jadi kesepian nantinya."
Husna manggut-manggut mendengar penjelasan Wina. "Oh gitu. Aku akan sering mampir, Win. Tenang saja aku nggak bakal berubah setelah menikah nanti. Kita tetap bersahabat."
"Janji, ya?"
"Iya." Husna melirik jam di tangannya, jam menunjukkan pukul 4 sore. "Aku harus pulang cepat, soalnya ada janji. Duluan ya, Win. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam, sampai jumpa, Husna." Wina melambaikan tangan.
"Jangan lupa datang tanggal 8 nanti, aku tunggu," teriak Husna meski perempuan itu sudah jauh.
"Iya!"
"Husna, kamu bisa saja merebut Hadyan dariku, tapi itu tidak akan bertahan selamanya. Akulah yang pantas menjadi kekasihnya, bukan kamu! Aku tidak peduli dengan persahabatan yang kita bangun sejak lama. Aku hanya ingin merasakan apa yang kamu rasakan, Na. Dicintai oleh seseorang yang aku juga mencintainya. Orang tua kamu pun selalu mendukungmu, sedangkan aku?" Wina mengusap air matanya yang perlahan menetes. "Miris sekali."
***
"Win, Wina! Papa mau bicara sama kamu!" Pria itu sangat marah kepada anaknya yang tak kunjung mendengarkan perkataannya.
"Apa sih, Pa?" Wina mengentikan langkahnya menuju kamar. "Pa, Wina baru pulang dari kampus. Bisa nggak sih Papa jangan marah-marah mulu!"
"Papa nggak akan marah kalau kamu nurut sama Papa!"
"Aku kurang nurut apa lagi sih, Pa. Aku kuliah di universitas pilihan Papa. Aku belajar mati-matian demi nggak buat malu seperti kata Papa. Dan Papa sekarang berbicara seolah Wina nggak melakukan itu semua! Wina capek Pa! Apa Papa tahu itu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Terangkai Semu (End)
Spiritual"Berikan senyuman terindahmu pada orang yang kamu sayangi, walau itu sangat menyakitkan." Begitulah pesan Husna, ibu Aiza sebelum beliau wafat. Hari-hari yang selalu diiringi canda tawa telah pupus sebelum masanya. Aiza selalu mengingat pesan itu...