Kejadian yang melibatkan Aiza dan Intan sudah berakhir semenjak 2 Minggu yang lalu. Aiza pun sudah memaafkan semuanya, baik Intan maupun Maira. Karena, menjadi orang pemaaf lebih baik daripada orang yang mementingkan ego pada dirinya.
Aiza bersiap dengan peralatan ujiannya, ia mendapat bangku paling depan. Tentu saja, Aiza berinisial A.
Lembar soal dan jawaban sudah dibagikan pengawas kepada para siswa. Suasana kelas menjadi hening dan serius. Nasib mereka tergantung ujian yang dihadapinya, sama seperti ujian hidup di dunia ini. Siapa yang mengerjakannya dengan serius dan teliti, insyaAllah ia akan diluluskan oleh Allah. Sebaliknya, yang mengerjakannya dengan main-main dan menganggap tidak penting, maka biarpun dia lulus semua itu awal dari kehancuran.
Waktu berjalan begitu cepat. Ujian hari ini selesai dilaksanakan.
Aiza bernapas lega, ia dapat mengerjakan semuanya dengan teliti. Materi yang Aiza pelajari dari jauh-jauh hari, kini dapat dipahami dan dikerjakan dengan baik.
"Tidak terasa, ya. Ujian selesai tinggal menunggu beberapa hari. Dan kita akan berpisah, lalu menjadi asing satu sama lain," ucap Helsa tidak ada beban. Dia ingin cepat-cepat menyelesaikan ujian yang rumit ini.
"Kok gitu ngomongnya?" tanya Khalisa.
"Hahaha sorry nggak bermaksud mau pisah dari kalian."
"Helsa bercandanya bikin orang jantungan."
Aiza mengelus dada takut hal itu terjadi. Sementara Intan, dia berjalan di samping Aiza dan hanya diam setelah melewati beberapa koridor.
Intan berujar, "Hm. Aku masih nggak enak sama kamu, Za."
Ketiganya langsung menghentikan langkah, kini terfokus pada Intan yang menundukkan kepala.
"Masih kepikiran? Aku sudah melupakan dan memaafkan semuanya, Tan. Jadi, jangan merasa kayak gitu." Aiza memegang bahu Intan, ia cukup mengerti perasaan Intan seperti apa. Kehidupan Intan tanpa Ibu, sama seperti dirinya. Aiza tahu betapa susah menjalani hidup yang terkadang memang berat.
Intan tersenyum kecil sambil menganggukkan kepala. Lagi dan lagi Aiza memberi jawaban yang sama, yakni menerima permasalahan itu serta menganggapnya sebagai angin lalu. Mungkin, jika itu bukan Aiza. Intan tidak tahu apa yang terjadi ke depannya, mungkin saja dia akan kecewa, atau mungkin enggan bertemu padanya.
"Za," panggil Maira. Gadis itu tidak sendirian, ia diantar 2 temannya.
"Za. Ada titipan dari Ibu, katanya kamu harus makan," ucap Maira. Maira masih saja menunjukkan sifat tidak sukanya pada Aiza.
Aiza tersenyum. Ia tahu mengapa Maira seperti itu, rupanya dia cemburu. Namun, Aiza meminta Intan untuk tidak menjelaskan perihal itu pada Pak Aji. Selain privasi, takutnya nama Maira semakin buruk. Aiza juga mengawatirkan jika Hadyan akan marah jauh lebih besar.
"Terima kasih, Kak."
"Oh ini ya yang namanya Aiza?" tanya perempuan di samping kanan Maira.
Maira mengangguk. "Iya, dia orangnya."
"Nggak nyangka loh, Ra. Kamu punya Adik sebaya, enak dong kalau ada apa-apa bisa bareng." Maira tersenyum kecil, kemudian memalingkan muka.
"Enak apanya yang ada aku tersiksa!"
"Aku duluan ya, Za," pamit Maira.
Tugas memberikan kue pada Aiza telah selesai. Paksaan dari Wina membuat Maira menurutinya, meski gengsi dengan kejadian yang melibatkannya harus sidang di ruang BK.
"Silakan, Kak."
"Masih sama ya, Za. Kakak tiri kamu tidak berubah," celetuk Helsa.
Intan yang sudah mengetahui sifat buruk Maira hanya manggut-manggut saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terangkai Semu (End)
Spiritual"Berikan senyuman terindahmu pada orang yang kamu sayangi, walau itu sangat menyakitkan." Begitulah pesan Husna, ibu Aiza sebelum beliau wafat. Hari-hari yang selalu diiringi canda tawa telah pupus sebelum masanya. Aiza selalu mengingat pesan itu...