"Abang, sudah bertemu dengan dia?" tanya Aiza setibanya Fattah di rumah. Aiza membuntuti Fattah dari belakang, tanpa ada celah. Aiza ingin mengetahui informasi itu lebih jelas.
"Lalu, Bang Fattah bilang apa?"
"Nggak perlu tahu," jawab Fattah ketus.
"Kenapa? Bang Fattah bilang macam-macam ya?" Aiza merasa bersalah pada Sidqi. Ia tidak enak hati, sikap Fattah memang terkadang keterlaluan.
"Abang hanya bilang pada dia buat jauhi kamu."
"Terus?" Aiza masih tidak percaya. Aiza tahu kakaknya bagaimana, ia tahu sifat itu. Sifat keras seorang Fattah.
Fattah duduk di kursi panjang. Ia menyenderkan kepalanya yang terasa berat. "Kasih dia pelajaran sedikit. Supaya dia sadar, Za. Biar dia juga nggak ganggu kamu lagi, semuanya Abang lakuin untuk menjaga kamu, dari orang seperti dia."
"Bang Fattah kok gitu? Sidqi juga orang loh, Bang. Pasti dia kesakitan setelah Bang Fattah pukul!" marah Aiza.
"Selalu begitu, nggak bisa ngertiin perasaan orang lain!" lanjutnya.
Fattah bangkit dari tempat duduknya. Ia menatap tajam Aiza. "Kamu benar-benar menghawatirkan keadaannya, berarti kamu peduli sama dia. Tahu maksudnya? Kamu suka sama dia, Aiza! Apa itu benar?"
Sontak Aiza membulatkan mata. Jantungnya berdetak lebih kencang, ada apa ini? Untuk berkata tidak saja, Aiza belum mampu, ia juga bingung.
"Kenapa diam?" tanya Fattah setelah melihat reaksi Aiza.
"Gini, ya. Kamu nggak tahu dia di belakangnya seperti apa, sifatnya, baik buruk dan sebagainya. Jangan terlalu percaya, Aiza. Jangan menaruh harapan lebih pada dia!"
"Aku mengenalnya. Sidqi orang baik."
"Seorang hamba hanya bisa menilai, tetapi yang menciptakan hamba itu yang tahu kebenarannya." Fattah pergi meninggalkan Aiza yang mematung.
***
Semalaman Fattah mendiamkan Aiza, bahkan sampai pagi ini. Aiza memang diantar Fattah, tapi keadaannya berbeda. Masih sama seperti semalam, cuek dan irit bicara. Setelah berpamitan singkat, Fattah melaju dengan kecepatan tinggi. Aiza tahu, kakaknya itu sedang marah terhadap terhadapnya.
Aiza menggeleng. Ia tidak mau galau pagi-pagi, memikirkan Fattah. Koridor masih lumayan sepi, udara segar masih bisa terhirup sepuasnya oleh rongga hidung milik Aiza. Seperti inilah yang Aiza akan rindukan bila lulus nanti, tidak bisa menikmati suasana pagi di sekolah.
Suara mengeong dari kucing yang bisa disebut penjaga sekolah terdengar keras di depan sepatu Aiza. Aiza berjongkok untuk menjajarkan posisinya. Aiza mengelus-elus bulu kucing itu dengan lembut, Aiza mengingat Rici yang ia tinggal sendiri di rumah.
"Dasar cewek munafik!" Tawa seseorang nyaring di sepanjang koridor. Suara itu mulai terdengar jelas di belakangnya, dan benar. Saat Aiza menoleh rupanya ada dua gadis di sana yang sedang bercanda.
Aiza tidak menghiraukannya, itu biasa terjadi. Mau pagi atau sore.
Langkah keduanya seperti membuntuti. Mereka berjalan cepat melewati Aiza, entah kenapa mereka menghalangi jalan di depan.
"Ini dia nih, cewek alim yang taunya munafik! Penampilannya sih menjamin cewek baik-baik, tapi di belakang busuk banget!" ucap cewek bertubuh tinggi.
"Betul banget, gue sampai nggak nyangkanya loh!" Kini si cewek yang tingginya di bawahnya ikut berucap.
Dua gadis berkerudung putih yang sama dengan Aiza datang tanpa permisi, siapa mereka? Aiza menatap sekilas wajahnya. Ia tidak mengenal keduanya, faktor berbeda jurusan dan kelas menjadi alasannya. Tampak seperti bukan anak sekolah, mulai dari poni rambut yang dibiarkan terurai, rok panjang nan ketat, ditambah riasan mencolok. Astaghfirullah ukhti!
KAMU SEDANG MEMBACA
Terangkai Semu (End)
Spiritual"Berikan senyuman terindahmu pada orang yang kamu sayangi, walau itu sangat menyakitkan." Begitulah pesan Husna, ibu Aiza sebelum beliau wafat. Hari-hari yang selalu diiringi canda tawa telah pupus sebelum masanya. Aiza selalu mengingat pesan itu...