Lantunan selawat kesukaan Aiza terdengar merdu memenuhi ruang kamar bernuansa warna pastel. Selawat yang diputar di laptop sengaja dibiarkan, ia asik menonton selawat yang ada video klip di dalamnya. Tempat ternyamannya adalah meja belajar. Dengan jendela yang dibiarkan sedikit terbuka sehingga cahaya bulan masuk ke ruangan, cemilan keripik singkong pedas, serta segelas coklat dingin menemani. Lengkap sudah untuk malam hari ini.
Selawat Ya Tarim yang terdengar, mulai hilang sebab detik-detik terakhir selawat itu habis. Laptop yang masih menyala memutar selawat selanjutnya, selawat Ya Habibi Ya Muhammad.
Aiza meneguk minuman coklatnya, kemudian menaruhnya kembali di meja. "Selawat ini mengingatkanku pada seseorang."
Kejadian hari Jumat waktu itu yang meninggalkan sedikit kenangan tentang seseorang yang memiliki suara khas. Aiza bertanya dalam hati. "Mengapa aku selalu mengingat kejadian itu?"
"Kira-kira kenapa ya mas?" tanya Aiza pada sekumpulan ikan mas di dalam akuarium berbetuk bulat. Bukannya menjawab apa yang ditanyakan Aiza, ikan itu bergerak bebas kesana-kemari. Aiza menyadari, hewan mana mungkin dapat berbicara. Ada-ada saja. Aiza memelihara ikan sejak ia kecil, hobinya sama dengan ibunya yakni memelihara hewan. Aiza dan Husna adalah pecinta binatang.
Brak!
"ASSALAMU'ALAIKUM!" teriak Fattah dari ambang pintu. Pintu yang ia buka sengaja dibuka dengan keras, untuk menjahili Aiza.
Aiza mengelus dadanya, berusaha menetralkan jantungnya yang kaget. "Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh, ada apa ya Bang?" Disusul senyuman ceria yang memudar seketika.
"Mau pinjam penggaris," kata Fattah dengan santai.
"Suka sekali ya, pinjam ini itu tanpa dipulangkan kembali?" sindir Aiza. Fattah sangat sering meminjam peralatan-peralatan sekolah milik Aiza untuk tugas kuliah, tetapi tidak pernah dikembalikan kembali. Untung Aiza tipe adik yang sabar.
Fattah nyengir tanpa rasa bersalah. "Tenang, Abang bakal ganti semua. Tapi kali ini nggak bisa, soalnya selalu ada tugas. Jadi Abang pinjam penggaris dulu ya, mana?"
"Iya. Janji saja terus sampai lulus kuliah, justru Aiza yang beli lagi Bang!" papar Aiza seperti kenyataan yang sebenarnya.
"Sebagai Adik harus tolong menolong kan ya?"
Aiza mengangguk. "Iya sih. Bentar ada di tas, aku ambilkan."
"Abang tunggu," ucap Fattah sembari berdecak pinggang. Perhatiannya teralihkan pada sebuah toples besar berisi keripik pedas yang terlihat sangat menggoda. Karena penasaran dengan rasanya, Fattah mencicipi 1. 2, 3, 4, dan seterusnya. Dia ketagihan.
Aiza lumayan lama mencari penggaris besinya, di tas sekolah tidak ada. Aiza kembali fokus mencari penggaris itu di laci meja dekat kasur.
Fattah melihat adiknya masih sibuk mencari yang diperlukan olehnya, Fattah tersenyum lebar untuk membantu menghabiskan keripik itu. Fattah duduk di kursi belajar, dengan tangan kanan yang terus mengambil keripik untuk ia nikmati.
"Ini Bang." Aiza kembali menghampiri Fattah. Yang dilakukan Fattah keterlaluan, dia menghabiskan hampir seluruh keripiknya dan sekarang tinggal beberapa.
"Sudah ketemu? terima kasih Zaza."
Aiza menatap tajam ke arah Fattah. "Kenapa Bang Fattah habiskan semua! Ini cemilan kesukaanku, tanggung jawab pokoknya!"
"Enggak mau," tolak Fattah.
"Astaghfirullah! Cepat ganti keripik Aiza, atau aku ngambek!" ancam Aiza dengan jurus ngambeknya.
Fattah tersenyum lebar tidak peduli. "Bodo amat."
"Bang Fattah! Aiza doain semoga tugas kuliahnya susah-susah plus susah dapet cewek."
KAMU SEDANG MEMBACA
Terangkai Semu (End)
Spiritual"Berikan senyuman terindahmu pada orang yang kamu sayangi, walau itu sangat menyakitkan." Begitulah pesan Husna, ibu Aiza sebelum beliau wafat. Hari-hari yang selalu diiringi canda tawa telah pupus sebelum masanya. Aiza selalu mengingat pesan itu...