28

3.3K 335 24
                                    

Menundukkan pandangan disaat dirinya ditatap laki-laki lain mungkin adalah pilihan terbaik bagi Navisya, ia tidak berani menatap kedua laki-laki didekatnya untuk saat ini. Yang ada dipikiran Navisya sekarang adalah keinginan pergi membawa Arka untuk menjauh dari laki-laki didepan nya.

Adnan, entah apa yang ia lakukan disini hingga bisa bertemu dengan Arka dan Navisya. Tapi, melihat jubah putih yang ia kenakan membuat Navisya tahu kalau Adnan mungkin bekerja di rumah sakit ini sebagai dokter.

"Kalau ada yang bertanya itu sebaiknya di jawab, bukan? Apalagi ini menanyakan kabar." seketika Navisya mendongak mendengar itu, sepertinya Adnan menyindir dirinya yang tidak menjawab pertanyaan tadi.

Navisya meremas kuat rok yang ia kenakan, ia ingin menjawab tapi lidahnya terasa keluh. Entah kenapa sejak kemunculan Adnan dihadapan nya membuat Navisya merasa takut dengan itu.

"Alhamdulillah, Navisya baik." bukan Navisya yang menjawab, melainkan Arka. Tatapan Adnan kini langsung beralih padanya.

"Yang gue tanya Navisya, kenapa lo yang jawab?" tanya Adnan sinis, rasanya Arka ingin terkekeh mendengar itu.

"Tinggal satu atap dengan Navisya membuat gue selalu tau keadaan dia disetiap harinya. Lagian, apa pantas laki-laki lain menanyakan kabar pada perempuan yang sudah bersuami dengan senyum manis seperti tadi?"

Adnan menatap tajam Arka, kata-katanya tadi sedikit membuat Adnan emosi.

Navisya menoleh pada tangan kirinya yang digenggam Arka kuat. Ia juga sedikit merasakan sakit dengan itu.

"Nan, gue harap lo bisa cepet ketemu dengan perempuan lain yang bisa terima lo sepenuh hati. Jangan ganggu Navisya yang sekarang udah jadi istri gue." kata Arka dengan cukup tenang, Adnan menaikkan satu alisnya.

"Ganggu? Gak salah denger nih gue? Lo bilang kalo gue yang ganggu?" Adnan tertawa seorang diri, namun tak lama tawanya berhenti dan kembali fokus pada Arka.

"Harusnya lo bilang hal 'itu' sama diri lo sendiri. Yang sebenernya ganggu itu lo, lo ngerusak semua rencana yang udah gue susun rapih sejak lama. Harusnya Navisya sekarang itu udah jadi istri gue, bukan lo." ucap Adnan dengan nada penekanan, kemudian ia melirik pada ruangan yang tadi Arka dan Navisya masuki. Ia tersenyum lalu menoleh pada Navisya. Ia tahu ruangan apa itu.

"Navisya, apa kamu gak nyesel nikah sama orang ini? Dia gak cuma ganggu saya aja, tapi juga ganggu masa depan kamu." Navisya menatap Adnan serius.

"Maksud kak Adnan?"

"Sya, sadar dong. Kamu ini masih kuliah, masih ada cita-cita yang harus kamu kejar. Kamu mau jadi dokter, kan? Seharusnya suami kamu ini ngerti dengan itu. Dia harus nya dukung dan gak gegabah sampe bisa bikin kamu hamil kayak sekarang."

Arka yang sudah tidak bisa menahan emosinya kini maju dan menarik kerah kemeja Adnan. Rasanya ia ingin meninju mulut sampah laki-laki itu.

"Apa? Mau marah? Yang gue katakan semuanya benar. Ibu hamil itu harus banyak istirahat dan gak boleh berpikir terlalu keras. Dengan begitu, otomatis Navisya harus berhenti kuliah atau cuti beberapa waktu. Dan hal itu yang bikin masa depan cerah Navisya seketika berubah menjadi suram-"

"Cukup! Gue gak mau denger apa-apa lagi dari mulut brengsek lo, gue-"

"Mas Arka, kak Adnan berenti!" teriak Navisya, sontak Arka dan Adnan menoleh secara bersamaan.

"Udah cukup! Jangan buat keributan ditempat umum." lanjutnya, kemudian ia menoleh pada Adnan.

"Untuk kak Adnan, menjawab pertanyaan kakak yang tadi. Aku sama sekali gak pernah menyesal nikah dengan Mas Arka, dan aku juga gak pernah sekalipun menyesal karena nolak kak Adnan waktu itu. Seorang laki-laki itu dinilai dari seberapa cepat nya mereka melamar perempuan yang ia cintai, bukan malah mengulur waktu dan marah karena ditolak." ucap Navisya panjang lebar, lalu ia kembali menundukkan kepalanya. Setelah berbicara seperti tadi rasanya ia ingin menangis, tapi ia berusaha untuk menahan nya.

ARKASYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang