38

2.2K 218 5
                                    

Deruan nafas kini terasa berhembus kencang di kulit wajah Arka. Tidur yang sedari tadi tenang itu pun akhirnya mulai terganggu kenyamanannya. Arka yang masih belum bisa untuk membuka matanya pun hanya bergeming. Ia masih mengantuk setelah semalam suntuk terjaga didalam mobil karena terjebak macet yang lumayan padat.

"Wuuhhh..." lagi dan lagi nafas itu terasa berhembus di pipi Arka. Tak hanya hembusan nafas, kini wajahnya pun terasa seperti ditindih oleh tangan yang hampir menutupi seluruh wajah. Akhirnya dengan berat hati, Arka pun mulai membuka mata walau masih setengah sadar karena kantuk yang ia tahan.

"Iya-iya Navisya, Mas bangun, udah, jangan tiup-tiup lagi." Arka mengubah posisinya menjadi duduk seraya menstabilkan pandangan dengan menggosok-gosokan mata.

"Navisya? Ini Azam, Papah."

Arka membulatkan mata mendengar itu, suara khas anak kecil tersebut benar-benar membuatnya terkejut. Dengan cepat, ia langsung menoleh pada si pemilik suara.

"Azam?"

Anak laki-laki yang masih memakai piyama itu mengangguk. Sementara Arka, ia masih bingung dengan apa yang ia lihat saat ini.

Setahu Arka, Azam, anaknya itu masih berada didalam kandungan, belum lahir dan belum besar seperti apa yang ia lihat sekarang. Tapi dibalik itu, wajah yang dimiliki anak tersebut benar-benar mirip dengan dirinya dimasa kecil, yang membuat berbeda hanya di mata saja. Arka melihat mata Navisya pada anak itu.

Kedua tangan Arka terangkat, ia kembali menggosok mata dan mengusap wajahnya berulang kali.

"Papah masih ngantuk, ya?" tanya Azam yang membuat Arka menghentikan aksinya. Ia bingung mau menjawab bagaimana, apa pantas dirinya dipanggil 'Papah', sekarang? Pasalnya yang ia tahu, Azam itu belum lahir dan belum sebesar sekarang.

"Kok Papah diam? Papah sakit? Coba Azam periksa." Azam menempelkan punggung tangannya yang mungil didepan kening Arka. Ekspresi yang diperlihatkan Azam saat tengah berpikir itu mencuri perhatian Arka.

"Alhamdulillah, Papah gak sakit, Papah sehat, sama kayak Azam." Azam tersenyum, begitu pun dengan Arka, ia langsung memeluk Azam detik itu juga. Air matanya mengalir hingga membasahi pipi. Rasa bingungnya ia kesampingkan terlebih dahulu, ia ingin menikmati rasa bahagianya menjadi seorang Ayah yang mendapat perhatian dari sang anak.

"Azam, Azam benar anak Papah?" tanya Arka haru, Azam menggeleng.

"Mmm... Azam gak tahu, Pah. Mamah bilang kalau Azam itu anak Papah dan Mamah, tapi kalau kata Om Bagus, Azam anak yang tertukar saat Azam lahir dirumah sakit. Azam bingung."

Arka terkekeh mendengar penuturan sang anak, pelukannya semakin ia eratkan, seakan-akan tak mau sampai kehilangan harta berharganya ini.

"Azam benar anak Papah dan Mamah, bukan anak yang tertukar. Jadi Azam gak perlu bingung." Arka mengecup kepala Azam dengan air mata yang senantiasa mengalir dari kelopak matanya. Benar-benar sangat bahagia.

"Papah, Papah sekarang bangun, ya? Dipanggil Mamah." kata Azam. Arka terdiam, ia masih setia dengan dekapannya.

"Nanti dulu, ya? Papah masih pengin peluk Azam."

"Tapi, Pah,"

"Pah."

"Ka."

"Mas."

"Mas Arka!"

Arka tersentak ketika namanya dipanggil begitu kencang. Ia membuka mata dan melihat Navisya yang tengah duduk disamping sambil menatap dirinya khawatir.

"Mas kenapa?" tanya Navisya, Arka memegang kepalanya, kemudian mengusap wajah, menghapus seluruh air mata yang sudah membasahi matanya.

"Astagfirullah," ucapnya beristighfar, ternyata kebahagiaan yang baru saja ia rasakan adalah salah satu bagian dari bunga tidurnya. Arka menghela nafas sejenak, berusaha menetralkan perasaan dan pikirannya.

ARKASYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang