Seiring berjalannya waktu, segala macam retakan dalam keluarga mungkin bisa membaik dengan sendirinya. Karena pada dasarnya tidak akan ada orang yang bisa memendam rasa benci dan amarah dalam waktu yang begitu lama. Mungkin ada, tapi hanya segelintir, tidak semuanya orang seperti itu.
Sama halnya seperti yang Reksa rasakan saat ini. Kejadian 20 tahun lalu yang telah termakan waktu itu sudah tidak membuat hatinya benci terhadap sang Ayah, hanya saja ia masih belum bisa untuk menerima maaf yang ditujukan padanya.
Salwa memperhatikan suaminya yang saat ini tengah berdiri di balkon kamar seorang diri. Sejak sore tadi, ia tidak mau diajak bicara. Reksa selalu menghindar ketika Salwa berada didekatnya.
Dengan diawali oleh hembusan nafas panjang. Salwa kembali mencoba mendekat lagi pada Reksa, ia ingin menghibur suaminya walau sedikit.
"Pa, Papa gak dingin?" Tanya Salwa memulai obrolan, ia berdiri disamping Reksa lalu memegang tangan suaminya.
Reksa terdiam, tak menjawab pertanyaan istrinya. Salwa menoleh menatap sang suami. Matanya tertuju ke depan dengan ekspresi kosongnya.
"Pa, Bunda tanya lho, kok gak dijawab?" Tanyanya lagi, namun Reksa masih terdiam.
Menyadari suaminya yang tak bereaksi itu pun membuat Salwa sedikit bingung dan juga khawatir. Tangan Salwa yang sedari tadi menggenggam tangan Reksa kini ia angkat. Salwa membawa dan menaruh tangan besar Reksa di bahunya seakan-akan merangkul, lalu Salwa mendekap badan Reksa dari samping dengan erat.
"Biar Papa gak dingin, soalnya dari tadi Bunda tanya gak dijawab-jawab." Katanya. Tapi lagi dan lagi Reksa masih terdiam.
"Pa, Bunda tau Papa laki-laki, makanya Papa gak mau curhat sama Bunda, kan?" Salwa kembali bertanya, walaupun ia tahu suaminya itu tak akan menjawab.
Salwa menepuk-nepuk pelan dada Reksa, "Mungkin untuk saat ini, Papa bisa turunin sedikit ego Papa dan cerita sama Bunda tentang perasaan Papa sekarang, jangan diam seperti ini, Bunda khawatir jadinya. Bisa, ya?"
"Bunda ini kan istri Papa, Bunda akan selalu siap denger cerita Papa."
"Cerita apa yang mau Bunda denger dari Papa?" Sahut Reksa seketika sambil menatap Salwa. Salwa meneliti wajah Reksa, ekspresi kosong itu kini lenyap, tergantikan dengan raut sedih yang terpancar dari suaminya. Mata reksa tak pernah berbohong.
Salwa berjinjit sedikit, mengalungi tangannya di leher Reksa dan berbicara di dekat telinganya.
"Cerita apapun yang ingin Papa ceritain sama Bunda. Bunda juga siap denger suara tangis Papa."
Mendengar itu, air mata Reksa perlahan mulai jatuh, sedikit isakan terdengar di telinga Salwa.
"Nangis aja, Pa. Gapapa kok. Ini gunanya Bunda peluk Papa, buat nutupin Papa nangis. Biar orang lain gak ada yang tau kalau suami ganteng milik nyonya Salwa lagi nangis sekarang. Kembar juga gak ada disini, jadi gak usah takut di ledek."
——————————
Rencana yang sudah diatur sedemikian rupa nyatanya bisa saja tak berjalan sesuai dengan apa yang telah di tetapkan sejak awal. Niat ingin sampai di rumah orang tua Arka saat sore, tapi kini Arka dan Navisya baru tiba pukul 8 malam.
Hati Navisya tak tenang sedari tadi, ia cemas, takut mertuanya marah karena tidak datang tepat waktu. Terlebih akan ada hal penting yang ingin disampaikan, ia makin khawatir saja.
"Mas. Papa marah gak, ya?" Tanya Navisya ketika sampai didepan pintu rumah.
Arka merangkul Navisya, mengusap pelan lengan istrinya guna memberi ketenangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARKASYA
RomanceROMANCE-ISLAMI ON GOING AWAS BAPER⚠ "Yang namanya usaha, pasti tidak akan mengkhianati hasil." Kata-kata itu terus terulang dikepala Arka, membuat dirinya semakin bersemangat untuk menggapai cinta seorang perempuan yang telah lama ia impikan. Segala...